BAB 20
DEA bergelayut di lengan Kirana dengan manja, mengingat Kirana telah berjanji akan mentraktirnya bakso Mang Ali, makanan terfavorit di kantin sekolah. Semalam, Kirana menelepon Dea tiba-tiba dan memohon agar sahabatnya itu mengirimkan jawaban tugas PKN yang diberikan seminggu yang lalu. Untungnya Dea berbaik hati mau mengirimkan jawaban lengkap, meskipun dengan syarat, "traktir bakso Mang Ali!"
Dasar Dea sombong. Biasanya kan, Dea yang menyalin tugas Kirana. Selama seminggu ini, Kirana sibuk maraton drama korea dan melupakan tugasnya begitu saja. Apalagi tadi malam Gabriel meneleponnya dan berlanjut sampai tengah malam, padahal Kirana sudah berniat untuk menyelesaikan tugas PKN-nya itu.
Kantin cukup ramai. Sambil memegang makanan dan minuman masing-masing, Kirana dan Dea berjinjit-jinjit mencari tempat kosong. Sampai akhirnya pandangan Kirana jatuh pada satu cowok yang melambaikan tangan ke arahnya. Kirana tersenyum lebar, itu Gabriel.
Dea mengikuti arah pandang Kirana, kemudian ia mendengus. "Ran, jangan bilang kalo kita bakal duduk bareng Gabriel."
"Itu doang tempat yang kosong, De," sela Kirana. Ia mengernyit. "Lho, kok jadi kebalik gini, sih? Dulu lo yang ngajak gue makan bareng Gabriel dan gue gak mau, sekarang malah lo yang gak mau!"
"Nanti gue jadi nyamuk di situ...." Dea merengek.
"Lo pikir gue bakal mesra-mesraan sama Gabriel? Lo gak liat mejanya Gabriel berhadapan sama meja kakak kelas?" Kirana melotot sewot. Ia berjalan mendahului Dea. "Lo gak ikut gue, gak ada bakso Mang Ali! Balikin duit gue!"
Mendengar itu, akhirnya secepat kilat Dea menyusul Kirana.
"Hai, El," sapa Kirana sambil menempatkan pantatnya di kursi depan Gabriel, Dea mengikutinya. "Kamu gak gabung sama temen-temen kamu?"
"Sengaja, kan mau makan sama kamu."
"EHEM!" Dea berdeham keras, sengaja tentunya. Ia mengipas-ngipas dirinya dengan telapak tangan, pura-pura kepanasan. "Ini kantin panas banget."
Kirana dan Gabriel saling melirik, kemudian tertawa melihat wajah Dea yang asem.
"Makanya, cari pacar!" ejek Gabriel.
Dea melotot. "Heh, sombong pisan. Siapa dulu yang mak comblang-in lo sama Kirana?"
"Lo." Gabriel nyengir. "Thanks, De. Nanti gue mak comblang-in lo sama Mang Ali."
Berikutnya, masing-masing sudah menikmati makanannya tanpa suara. Sebelum akhirnya suara celetukan dari meja yang bersebrangan, terdengar.
"Eh, El. Cewek lo, itu? Si Kirana?"
Gabriel yang membelakangi meja mereka, menoleh, menatap kesembilan teman cowoknya. Ia tertawa, membalas ucapan Raka. "Sirik, lo?"
"Bening amat. Buat gue aja sini!" Dika menyambar. "Dijamin sentosa idupnya!"
"Duh, sorry, Dik. Gue masih mampu bahagiain dia," kata Gabriel, masih dengan nada bercanda.
"Ah, buat apa juga, El. Lo sama dia beda, kan?"
Meja yang ditempati oleh teman-teman Gabriel langsung ramai. Suara itu terdengar dari Albert, teman dekat Gabriel sekaligus orang yang sangat menentang hubungan Kirana dengan Gabriel. Mereka semua menyoraki dan meledeki Albert, membuat kantin semakin ramai. Tetapi, seketika semuanya langsung diam saat Gabriel benar-benar memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Albert, meskipun dihalangi dengan meja.
"Beda yang kayak gimana nih, maksudnya?"
Nada suara Gabriel dingin, berbeda dengan sebelumnya. Meskipun wajah Gabriel memang terlihat santai dan tidak menunjukkan kemarahan, tetap saja, siapapun yang mendengar suara dingin itu pasti akan ciut juga. Seperti Kirana saat ini.
Albert menegakkan tubuhnya, karena sebelumnya ia bersandar di kursi. Ia melipat kedua tangannya di atas meja. "Ya lo pikir aja, kalo lo masih inget agama lo."
"Iya, gue sama dia emang beda di banyak hal. Terus, masalahnya kenapa?"
"Lo mau bikin malu keluarga lo, pacaran sama yang beda agama?"
Gabriel terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia memutar tubuh, kembali menyantap mie gorengnya. Gak usah ditanya, Gabriel sudah emosi pake banget. Gabriel sudah menonjok Albert sekarang juga kalau saja cowok itu bukan sahabat baiknya. Terlebih lagi ini di kantin yang notabenenya rame dan dekat dengan kantin guru. Gabriel nggak mau nambah masalah.
Albert kini menatap Kirana sinis. Tentu Gabriel tidak menyadarinya karena ia membelakangi meja teman-temannya. Kirana melihat Albert berkata pelan dengan teman sebelahnya, Miko. Kirana mengenal Miko, cowok itu adalah tetangganya sekaligus sahabat Revan.
"Gue lebih suka Gabriel sama Jane. Lebih cocok dan gak nyusahin. Jane juga cantik banget. Kirana gak ada apa-apanya dibanding Jane."
Tangan Kirana bergetar. Ia menunduk, tidak berani menatap lurus ke depan. Suara Albert memang pelan, namun terdengar jelas di telinganya.
Miko menonjok pelan bahu Albert. "Jangan gitu lo, dulu kesayangannya Revan, tuh."
Tangan Gabriel berhenti mengaduk mie gorengnya. Rahangnya mengeras, begitu mendengar nama Revan disebut. Ia berbalik badan, menatap tajam Albert dan Miko.
"Maksud lo apa bawa-bawa nama Revan?"
Semuanya terkejut, terutama Kirana dan Miko.
"El, santai aja santai. Sorry. Bukan gitu maksud gue," kata Miko yang langsung berdiri dari duduknya. Miko menatap Gabriel yang masih menatapnya dengan sorot tajam, lalu menghela napas. Ia mengerti betul sahabatnya ini memiliki masa lalu yang pahit. "Nama Revan gak cuma satu di dunia ini, El," ujarnya pelan.
Di tempatnya, Kirana mengernyit, tidak paham dengan topik yang sedang dibahas sekarang. Ia mulai tak nyaman. Revan? Kenapa Gabriel terlihat sangat marah saat Miko menyebut nama itu?
Ada apa dengan Gabriel dan Revan?
***
NB:
ada pengeditan ulang di bab 14, yang ada kaitannya sedikit sama bab ini. kalo masih bingung tentang Revan dan Gabriel di bab ini, bisa baca ulang di bab 14 ya, tysm❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluk Alaska [Hiatus]
Teen FictionLove Different Religion. Kirana dan Gabriel terjebak di status itu. Saling mengingatkan kewajiban yang berbeda satu sama lain. Saling mendoakan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Mungkin memang terdengar sepele. Namun jika ini terjadi pada kal...