BAB 11

2K 247 26
                                    


BAB 11

BEL pulang sekolah berbunyi, membuat semua siswa-siswi 11 IPA 1 bersorak dan merapikan buku-bukunya lalu berdesak-desakan keluar kelas. Begitu pun Kirana dan Dea yang langsung menghembuskan napas lega setelah berhasil melewati ulangan harian Kimia—meskipun mereka berdua tidak terlalu yakin hasilnya akan seperti yang diharapkan.

"Angkat tangan deh, buat Kimia," keluh Kirana sambil menyandang tas ranselnya, lalu berjalan pelan keluar kelas ketika kelas sudah sepi. Seperti biasa, Kirana dan Dea selalu keluar kelas paling terakhir, tidak mau berdesak-desakan dengan anak-anak yang lain.

"Gue baru inget, Ran. Harusnya tadi kita nulis gini di lembar jawaban, 'Barang siapa yang menyusahkan orang lain, akan disusahkan pula di akhirat'. Biar ketakutan tuh guru!" gurau Dea sambil tertawa.

Kirana balas tertawa. "Ada-ada aja lo! Eh, lo ada latihan paduan suara ya hari ini?"

Dea mengangguk sambil tersenyum kecut. "Males banget, gue! Maunya molor di rumah aja. Tapi nanti Bu Ros ngoceh panjang lebar kalo gue bolos sehari aja," curhat Dea.

Langkah Kirana dan Dea berhenti tepat di depan gerbang. Seperti biasa, sebelum ke ruang paduan suara, Dea selalu mengantar Kirana terlebih dahulu ke parkiran atau ke gerbang sekolah. Berhubung Kirana tidak membawa kendaraan hari ini, jadi Dea mengantarkannya ke depan gerbang. Selanjutnya Kirana harus berjalan kaki sedikit menuju halte bus yang letaknya tak jauh dari sekolah.

"Sorry gak bisa temenin lo latihan. Gue pulang duluan, semangat latihannya, De!" kata Kirana sambil melambaikan tangannya.

"It's ok, hati-hati Ran."

Kirana mengacungkan jempolnya. Saat dilihatnya punggung Dea sudah menjauh dan tidak terlihat lagi, Kirana segera berbalik badan dan meninggalkan gerbang sekolah. Tapi baru saja ia hendak melangkah, suara klakson motor mengejutkannya.

Tin!

Kirana melotot, menatap sang pelaku dengan nyalang. Sedangkan sang pelaku malah cengar-cengir tanpa dosa. Siapa lagi kalau bukan Gabriel.

"Ikut gue, yuk," ajak Gabriel tiba-tiba, membuat Kirana mengernyit bingung.

"Ke mana?"

"Ikut aja, ayo."

"Gak, gue mau maraton drakor!" tolak Kirana, kemudian ia melanjutkan langkahnya, hendak meninggalkan Gabriel. Tapi, Gabriel malah menarik tali ranselnya, membuat tubuh Kirana terseret ke belakang.

"Ada yang mau ketemu sama lo."

Kirana mengernyit tak percaya. Namun melihat mimik wajah Gabriel yang terlihat serius, akhirnya ia mengangguk, mengiyakan permintaan cowok itu.

***

Kirana menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan berkarpet yang penuh dengan rak buku itu. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma buku yang menyeruak di ruangan itu, baik buku-buku lama maupun buku-buku baru.

Kirana menghempaskan tubuhnya di sofa, kemudian melanjutkan membaca novel yang sedari tadi ia pegang.

Sekarang, Kirana sedang berada di perpustakaan. Lebih tepatnya, perpustakaan di rumah Gabriel. Kirana sendiri tidak tahu apa maksud dan tujuan cowok itu yang tiba-tiba tanpa angin tanpa hujan membawanya ke sini.

Ah, Kirana ingat. Ada yang mau ketemu sama lo. Itu maksud dan tujuan Gabriel.

Kirana bangkit dari sofa, menutup novelnya, dan meletakkannya di tempat semula. Bosan. Ia ingin mencari novel yang lain. Ia berjalan mengelilingi perpustakaan besar itu. Memang tidak terlalu besar, tapi itu terbilang besar untuk perpustakaan pribadi yang letaknya di dalam rumah.

Kirana menjelajahi rak demi rak, mencari-cari novel remaja yang bisa menarik perhatiannya. Gabriel sedang mandi, jadi cowok itu mempersilakan Kirana untuk 'berkunjung' ke perpustakaan pribadinya sambil menunggunya selesai mandi. Tentu saja Kirana senang. Kirana gadis penyuka perpustakaan, namun bukan penyuka yang sangat terobsesi dengan buku.

Perhatian Kirana teralih pada meja bundar di sudut ruangan yang dipenuhi dengan bingkai-bingkai foto. Kirana berjalan mendekat. Diambilnya satu bingkai foto dan diperhatikannya seksama. Kirana terkikik geli, Gabriel kecil terlihat sangat menggemaskan di foto itu. Kirana meletakkannya lagi dengan hati-hati, lalu pandangannya jatuh pada salah satu bingkai foto yang paling besar di antara yang lain. Wajah Gabriel dengan seorang gadis tercetak di foto itu. Di sana Gabriel merangkul gadis itu sambil tersenyum ceria.

"Itu Nana."

Kirana tersentak, nyaris bingkai foto itu lepas dari genggamannya. Kirana menoleh, dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati Om Gavin—ayah Gabriel sudah berdiri di sebelahnya. Cepat-cepat, Kirana meletakkan kembali bingkai foto itu.

"Ah, hai, Om." Kirana tersenyum gugup. Ia menyalami tangan Om Gavin. "Maaf, Om. Saya gak bermaksud lancang. S-saya cuma penasaran."

Alih-alih marah, Om Gavin tertawa kecil. "Gak papa. Kamu... Kirana kan?"

Kirana mengernyit, mengingat ia belum bertemu bahkan berkenalan dengan Om Gavin. Lalu, dari mana beliau mengetahui namanya? Tapi kemudian, Kirana hanya tersenyum. "Iya, Om."

"Pacarnya Gabriel, ya?"

Kirana terkejut. "Bukan, Om. Saya temennya."

"Oh? Temennya?" Om Gavin meneguk kopinya. "Ah ya, itu Nana, mantan pacar Gabriel."

Kirana melirik bingkai foto itu, mengikuti arah pandang Om Gavin. "Cantik, Om."

Om Gavin mengangguk sambil tersenyum tipis. Namun diam-diam, Kirana melihat semburat kesedihan di manik matanya.

"Saya kira kamu pacar Gabriel," kata Om Gavin sambil tertawa, setelah beberapa saat hening. Kirana menoleh. "Gabriel pernah cerita tentang kamu ke saya."

Kirana tertegun.

"Tapi saya bersyukur, akhirnya Gabriel bisa lepas dari masa lalunya dan bisa dekat sama perempuan lagi. Saya berterima kasih sama kamu. Saya permisi dulu."

Om Gavin melenggang pergi dari perpustakaan, meninggalkan Kirana dengan ribuan pertanyaan di pikirannya.

"Ran?"

Kirana menoleh. Suara Gabriel memecahkan lamunannya. Kirana mengerjap, cepat-cepat ia menjauh dari meja bundar itu.

"Tadi bokap gue ke sini?"

"Iya, tadi gue ngobrol dikit sama bokap lo," jawab Kirana sambil tersenyum gugup.

Gabriel manggut-manggut. Tanpa bertanya lebih jauh lagi, ia berbalik badan dan melangkah. "Ayo, Ran."

Teluk Alaska [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang