BAB 22
DUA hari setelah kejadian di rumah makan padang, hubungan Kirana dan Gabriel kembali membaik. Baik Kirana maupun Gabriel tidak ada yang mengungkit masalah itu lagi. Sepulang dari sana pun, mereka tetap saling bertukar pesan. Bahkan malam harinya Gabriel menemani Kirana mengerjakan tugasnya melalui telepon. Mereka bersikap biasa saja, seolah pertengkaran itu tidak pernah terjadi.
Itu yang Kirana sukai dari Gabriel. Selalu bersikap dewasa dengan tidak pernah membesarkan masalah. Kalau pun mereka bertengkar hebat dan berakhir dengan Gabriel yang mendiamkannya beberapa waktu, cowok itu tetap akan mengalah dan menghubungi Kirana duluan. Mengucapkan maaf, membujuknya, lalu kemudian mengeluarkan lagi leluconnya hanya untuk mendengar suara tertawa Kirana.
Kirana memandangi cowok di hadapannya dengan bibir mengerucut. Jam makan siang kali ini, Kirana bersikukuh untuk tidak pergi ke kantin, meskipun sudah dibujuk beribu kali oleh Gabriel. Lalu berakhir dengan Gabriel yang mengalah —lagi-lagi— dan membawakan sepiring nasi goreng dari kantin untuk Kirana. Padahal demi apapun, Kirana sedang tidak berselera makan siang ini.
Sedangkan Dea, ia sudah pergi ke kantin bersama Thalia dan Mauren sejak sepuluh menit yang lalu. Sebelumnya, Dea tidak mau ke kantin tanpa Kirana dan memilih untuk berdiam di kelas bersama Kirana, namun Kirana memaksa karena tahu selama pelajaran berlangsung Dea terus merengek kelaparan.
Sebucin itu Dea kepada Kirana.
"Gabriel, udah, ah!" Kirana merengut, pipinya mengembung besar karena terisi penuh dengan nasi goreng yang baru saja disuapi Gabriel. "Kenyanggg."
"Kenyang gimana sih, kan belum makan dari pagi?" protes Gabriel. Tangannya hendak menyodorkan sesendok nasi goreng lagi pada Kirana, namun gelengan cepat dari cewek itu membuat Gabriel meletakkan kembali sendoknya di piring. Mengalah untuk kesekian kalinya, dan akhirnya menyuapkan sesendok nasi goreng itu ke mulutnya sendiri. Membuat Kirana gemas sendiri. Cewek itu nyengir, lalu mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi Gabriel. Cukup keras, sampai Gabriel sedikit meringis kesakitan.
Merasa tenggorokannya kering, Kirana membuka resleting tasnya untuk mengambil air mineral yang biasanya selalu ia bawa dari rumah. Namun sepertinya kali ini botol minum itu tertinggal di rumah saat ia terburu-buru berangkat tadi pagi, karena Kirana tidak melihat botol minum di tasnya sekarang.
Gelagat Kirana itu ditangkap oleh Gabriel. Seolah tahu apa yang Kirana cari, cepat-cepat Gabriel menyudahi makannya dan beranjak dari kursinya.
"Gak bawa minum, ya? Sebentar, aku beli di kantin dulu."
Setelah mengatakan itu sambil tersenyum, kemudian mengacak rambut Kirana dan melenggang pergi, meninggalkan Kirana yang detik berikutnya tersenyum sendiri di tempatnya. Bisa membayangkan kan, seberapa beruntungnya Kirana memiliki Gabriel?
Sambil menunggu Gabriel dan air mineralnya, Kirana kembali membuka novelnya, meneruskan bacaannya yang sempat terhenti.
Sampai Kirana selesai membaca dua halaman, sebotol air mineral dingin diletakkan di atas meja Kirana. Dengan kepala yang masih menunduk, bola mata Kirana bergerak, menatap botol air mineral itu dengan heran.
Air mineral dingin? Tumben sekali. Gabriel memang selalu memberinya air mineral biasa, karena tahu betul Kirana tidak pernah menyukai air mineral dingin.
"El, tumben air mineral dingin? Kamu—"
Pertanyaan Kirana terhenti otomatis, saat kepalanya mendongak dan melihat ternyata sosok yang duduk di hadapannya ini bukan Gabriel.
Bukan, yang duduk di hadapan Kirana bukan nenek lampir atau kuntilanak, bukan juga suster ngesot. Karena ini bukan cerita ber-genre horror.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluk Alaska [Hiatus]
Teen FictionLove Different Religion. Kirana dan Gabriel terjebak di status itu. Saling mengingatkan kewajiban yang berbeda satu sama lain. Saling mendoakan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Mungkin memang terdengar sepele. Namun jika ini terjadi pada kal...