BAB 10
"UDAH pernah nyoba, belom?"
"ANJING, LO!"
DUG.
Tanpa diduga, begitu tiba-tiba, Gabriel melayangkan tinju ke pipi Rehan, membuat bola mata Kirana nyaris keluar. Teman-teman yang lain langsung berdiri dari duduknya, tapi tetap diam, tidak ada yang bertindak untuk melerai mereka.
Rehan menyentuh pipinya yang terasa nyeri, sedangkan kini kerah seragamnya ditarik oleh Gabriel. "Bercanda kali, El."
Rahang Gabriel mengeras. "Jaga omongan lo, Anjing!"
Dan satu tonjokan lagi dari Gabriel membuat tubuh Rehan limbung dan mundur ke belakang. Bibir Rehan mulai sedikit sobek dan berdarah. Tak terima, Rehan maju melawan. Pertengkaran itu semakin panas, tapi tak ada satu pun yang mau melerai. Teman-temannya yang lain malah menonton dan bersorak menyemangati.
"KAK GABRIEL, UDAH!" teriak Kirana tertahan, matanya berkaca-kaca apalagi ketika melihat kini Gabriel duduk di atas perut Rehan—meninju wajah cowok itu berkali-kali. Kirana yang tidak biasa melihat pemandangan seperti itu, merasa ingin menangis. Pemandangan itu tepat di depan mata Kirana, persis! Hanya berjarak satu langkah!
Tapi tidak ada yang menggubris. Gabriel terlihat emosi, dan kalau sudah seperti itu, tidak ada yang berani menariknya keluar dari pertengkaran.
"Bilangin ke orangtua lo." Suara Gabriel terdengar sangat datar tapi tajam. Ia menarik kerah seragam Rehan, membuat kepala cowok itu terangkat. "Orangtua yang baik gak akan ngajarin anaknya buat ngerendahin perempuan."
"Bacot!" Rehan mendorong keras tubuh Gabriel, sehingga mereka kini berganti posisi. Suara tinju-tinjuan semakin terdengar, mereka tak peduli wajah mereka yang sama-sama sudah babak belur.
Tubuh Kirana membeku, kakinya lemas, degup jantungnya lebih cepat dari biasanya. Pandangannya mulai buram, kepalanya pening melihat memar-memar di wajah Gabriel maupun Rehan.
Dan kurang dari tiga detik, tubuh Kirana tumbang begitu saja ke lantai. Dan semuanya berubah menjadi gelap total.
***
Kirana membuka matanya perlahan, tapi kemudian matanya kembali menyipit karena lampu di ruangan serba putih itu terlalu terang. Kirana memijit pelipisnya. Rasa pusing masih menjalar di kepala bagian belakangnya, walaupun sudah tidak separah sebelumnya.
"Gimana? Mendingan?"
Kirana terlonjak mendengar suara berat itu. Ia baru sadar kalau ternyata ia tidak sendirian di sana; ada Gabriel yang duduk di tepi ranjang tempat Kirana berbaring.
"Gue di mana, Kak?" tanya Kirana.
"Di UKS. Gue khawatir sama lo, muka lo pucet banget tadi," jelas Gabriel. "Lo gak papa, kan?"
Kirana mengernyit, ia melihat wajah Gabriel yang masih sedikit berdarah dan memar-memar. Bahkan cowok itu belum membersihkan lukanya, tapi dia malah menanyakan kabar Kirana?
"Pikirin dulu diri lo. Muka lo sampe parah gitu. Mana belum dibersihin lukanya."
Gabriel tertawa. "Berantemnya belum selesai gara-gara lo pingsan tadi, gak seru."
"Ih! Masih sempet-sempetnya mikirin itu!"
"Gue yakin Rehan sekarang lagi kesakitan. Muka gue kan ada tenaga dalemnya," canda Gabriel, ia tertawa lagi.
Kirana memutar bola matanya, mencibir. Ia bangkit dari kasurnya, kemudian berjalan menuju lemari kecil berisi obat-obatan. Diambil dan diutak-atiknya kotak P3K, lalu ia menghempaskan pantatnya di hadapan Gabriel. "Luka lo harus cepet-cepet dibersihin."
Gabriel diam, menatap Kirana yang sekarang sudah sibuk mengobati dan membersihkan lukanya. Suasana di UKS mendadak hening, tidak ada lagi yang membuka suara.
"Kenapa harus berantem, Kak?" tanya Kirana, setelah ia merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Tangannya tetap tidak berhenti bergerak-gerak di atas wajah Gabriel.
Gabriel mendongak, menatap wajah Kirana yang masih cantik meskipun terlihat sangat pucat.
"Setelah lo direndahin kayak gitu, lo masih aja nanya?"
Kirana mengernyit. "Tapi kan, gue yang—"
"Siapapun itu," potong Gabriel. "Gue nggak suka liat cewek diperlakuin nggak pantes."
Kirana mengangguk-angguk paham. Setelah menempelkan plester di pelipis Gabriel untuk sentuhan terakhirnya, Kirana segera merapikan dan menutup kotak P3K. Ia baru saja akan beranjak dari duduknya ketika Gabriel kembali bersuara.
"Terutama lo."
Bola mata Kirana bergerak, jatuh pada tatapan teduh milik Gabriel.
"G-gue, Kak?"
Gabriel tidak menjawab, hanya menatap manik mata Kirana dalam diam, membuat gadis itu salah tingkah. Tapi detik berikutnya, Gabriel malah tertawa.
"Gue baru nyadar, sejak kapan lo manggil gue 'Kakak'?"
"Eh?" Kirana gelagapan. Matanya mengerjap. "Sejak gue tau lo kakak kelas gue."
"Tapi, gue gak suka dipanggil 'Kakak' sama lo."
"Lho, kenapa?"
Gabriel bangkit dari tempatnya, berbalik badan hendak keluar dari UKS. "Panggil gue biasa aja, anggep gue lebih dari kakak kelas lo."
Kirana tambah mengernyit mendengar penuturan Gabriel. Ia ingin bertanya apa maksudnya, tapi laki-laki itu sudah meninggalkan dirinya sendirian di UKS.
***
AHAHA i know, adegan berantemnya kurang feel karena gatau mau ngetik kayak gimana lagi 🤧
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluk Alaska [Hiatus]
Teen FictionLove Different Religion. Kirana dan Gabriel terjebak di status itu. Saling mengingatkan kewajiban yang berbeda satu sama lain. Saling mendoakan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Mungkin memang terdengar sepele. Namun jika ini terjadi pada kal...