BAB 9KIRANA mendengus kesal dengan langkah yang terus dihentak-hentakkan. Sedangkan Dea cuma cengar-cengir sambil berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkah Kirana. Gara-gara kejadian kemarin di kantin, pagi ini Kirana harus merelakan telinganya panas karena omongan orang-orang tentang dirinya.
"Itu yang kemaren di kantin, kan?"
"Itu si anak baru yang berani duduk di tempatnya Gabriel dkk."
"Denger-denger sih namanya Kirana."
"Keganjenan banget, sih."
"Nyari sensasi banget."
Kirana bisa saja menghampiri mereka satu-satu dan menabok mulutnya sekarang juga kalau saja Dea tidak menahan tangan Kirana.
"Kiranaaa, jangan emosi dong," kata Dea sambil menggoyang-goyangkan tangan Kirana. "Lo seneng juga, kan? Kemarin tuh kesempatan untuk memperdekat lo sama Gabriel, tau!"
Ucapan Dea memang gak salah sih. Hitung-hitung itu rezeki untuk Kirana karena selama ini ia rajin membantu mamanya memasak. Tapi ya nggak gitu juga! Kalau PDKT tuh slow down, kayak lagunya Selena Gomez.
"Kirana, Deandra, bisa tolong saya?"
Kirana dan Dea otomatis menoleh mendengar nama mereka dipanggil. Pak Rahmat datang menghampiri mereka dengan tergesa-gesa. Kedua tangannya membawa tumpukan buku paket kelas dua belas.
"Kenapa, Pak?" tanya Kirana sok kalem.
"Kamu, bawa buku paket ini ke kelas 12 IPA 1, ya." Tanpa menunggu jawaban dari Kirana, Pak Rahmat langsung memberikan setumpuk buku paket itu kepadanya, membuat Kirana mau tak mau langsung menerimanya. Sedangkan Dea hanya diam, tampangnya persis banget kayak anak oon. Kirana jadi gemes, gemes pengen nampol maksudnya.
"De, bantuin! Berat!" bisik Kirana, sewot.
Dea nyengir, lagi. Itu anak memang demen banget nyengir kayak kuda. Ia mengulurkan tangannya, berniat mengambil sebagian buku paket itu dari tangan Kirana. Tapi suara Pak Rahmat mencegahnya.
"Nggak, Dea ikut saya ke ruang TU, bantuin saya fotocopy."
Dea melirik Kirana, kemudian tertawa sambil menjulurkan lidahnya melihat wajah Kirana yang sepet kayak sayur belum digaremin. Sepertinya, hari ini merupakan hari penuh kesialan untuk Kirana.
"By the way, lo nganter itu ke kelas 12 IPA 1 lho, Ran," kata Dea. Ia bergegas menyusul Pak Rahmat, meninggalkan Kirana sendirian yang mengernyit bingung. Kemudian Dea berteriak tanpa menoleh. "Itu kelasnya Gabriel!"
Oh, great.
***
Kirana berhenti di balik tembok, sebelum benar-benar berbelok ke lorong kelas dua belas. Kirana mengintip sedikit, melihat seperkumpulan anak kelas dua belas sedang berkumpul di lorong itu. Tubuh Kirana lemas. Mungkin dalam sejarah, tidak ada perempuan yang berani melewati perkumpulan para senior dalam kondisi sendirian.
Kirana menarik napas, lagi-lagi merasa tangannya sangat pegal. Iyalah, dari toilet cewek —karena Kirana dan Dea tadi habis dari toilet— ke kelas dua belas itu harus berbelok-belok dan naik tangga, sedangkan tangan Kirana memegang kurang lebih sepuluh buku paket yang tebalnya setebal kumis Pak Rahmat.
Awas aja, Kirana gak bakal mau bikinin kopi buat Pak Rahmat lagi.
Akhirnya, dengan keberanian yang penuh, Kirana berbelok dan mempercepat langkahnya. Sialnya, kelas 12 IPA 1 berada di paling pojok sehingga Kirana mau tak mau harus berlama-lama mendengar godaan dan sapaan dari para senior untuknya.
"Eh, ada cewek cantik, nih. Mau ke mana?"
"Anjir manis banget."
"Berat tuh kayaknya, mau gue bantuin?"
"Cakep pisan euy."
"Judes bener si Adek."
Kirana hanya diam sambil sesekali mengangguk dan tersenyum tipis kepada mereka, bagaimana pun ia harus tetap menjaga sikap kepada kakak kelasnya.
Kirana berhenti di depan pintu kelas 12 IPA 1, matanya mencari-cari sosok Gabriel, berniat meminta bantuan untuk menaruh buku-buku paket itu ke meja guru, karena tidak mungkin Kirana langsung nyelonong masuk ke dalam.
"Cari siapa?"
Kirana membalikkan badan ketika mendengar suara itu. Salah satu laki-laki di sana yang Kirana ketahui namanya Rehan —salah satu teman Gabriel juga— bertanya kepadanya.
"Cari Gabriel, ya?" tanya Rehan lagi.
"Nggak—anu, disuruh Pak Rahmat taruh ini di meja guru. Kalian ada yang bisa bantu?" tanya Kirana hati-hati.
"Lo pacarnya Gabriel?" Rehan mengabaikan pertanyaan Kirana, mengalihkan topik dengan cueknya.
Alis Kirana bertaut. "Maaf, Kak?"
"Pantes—"
"Lo nyari gue?"
Kirana menoleh. Gabriel dengan suara bass-nya itu, muncul di ambang pintu. Wajahnya datar. Kirana menggeleng. "Disuruh Pak Rahmat taruh ini di meja guru."
Gabriel menerima tumpukan buku itu tanpa berkata apa-apa. Ia berbalik badan, hendak kembali masuk ke dalam kelas. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara Rehan yang sepertinya diajukan untuknya.
"Boleh juga tuh, El."
Gabriel membalikkan tubuhnya. Sebelah alisnya terangkat, menatap Rehan dengan tatapan bertanya.
"Pacar lo," kata Rehan, dagunya menunjuk Kirana. Ia menggerakan kedua tangannya, seolah membayangkan bentuk tubuh Kirana. "Semok."
Gabriel diam beberapa saat. Kemudian, ia memberikan lagi tumpukan buku paket itu kepada Kirana, yang langsung diterima cewek itu dengan dahi mengernyit.
Gabriel maju, mendekati Rehan. Ia sedikit menunduk—menatap lekat temannya itu yang kini sedang duduk santai di lantai.
Rehan menaik-turunkan alisnya, menatap Gabriel menggoda. "Udah pernah nyoba, belom?"
"ANJING, LO!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluk Alaska [Hiatus]
Teen FictionLove Different Religion. Kirana dan Gabriel terjebak di status itu. Saling mengingatkan kewajiban yang berbeda satu sama lain. Saling mendoakan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Mungkin memang terdengar sepele. Namun jika ini terjadi pada kal...