BAB 3"AH, jadi gini, Mbak. Uang saya kur—"
"Saya yang bayarin dia, Mbak!"
Seruan itu sukses menarik perhatian Kirana, mbak kasir, dan beberapa orang yang sedang mengantre. Kirana menjadi pusat perhatian sekarang. Ah, ralat. Mereka berdua—Kirana dan laki-laki itu—menjadi pusat perhatian sekarang. Kirana menahan napasnya. Ia berani bersumpah, ini hal yang paling memalukan seumur hidupnya.
Laki-laki yang tempo lalu Kirana tabrak, kini berdiri di sebelah Kirana. Setelah menyerahkan selembar uang dua puluh ribu, laki-laki itu langsung melengos keluar dari minimarket, mengabaikan mbak kasir yang hendak menyerahkan uang kembalian dan juga Kirana yang mengernyit bingung.
Tatapan mbak kasir kini menatap Kirana, seolah bertanya apakah Kirana ingin menerima uang kembaliannya atau tidak. Kirana hanya menggeleng sambil tersenyum dan meminta maaf kepada mbak kasir. Tak mau kehilangan jejak, Kirana cepat-cepat keluar dari minimarket dan menyusul laki-laki itu yang sampai sekarang belum Kirana ketahui namanya.
"Eh, lo!"
Laki-laki itu berhenti melangkah, seolah mengetahui Kirana sedang memanggilnya. Ia menoleh ke belakang, menatap Kirana yang kini tersenyum kikuk.
"Gabriel."
Kirana sedikit mengerjap. "Iya, Gabriel," ralatnya dengan terbata. "Anu, makasih."
Gabriel menatap iris mata Kirana dengan intens. Cukup lama, sebelum akhirnya kembali berbalik badan dan melangkah pergi.
Kirana mengernyit kesal. Ia akhirnya memberanikan diri untuk berseru.
"Tapi, harusnya lo gak usah ngelakuin itu."
Langkah Gabriel berhenti lagi. Lagi-lagi, Gabriel menatapnya dengan intens, sedangkan Kirana membalas tatapannya dengan gemetar. Glek! Bahkan untuk menelan salivanya saja ia susah payah. Kalau saja tatapan bisa membunuh, mungkin Kirana sudah akan terkulai lemas tak berdaya sekarang juga.
"Kenapa?"
"Lo bikin gue tambah malu." Kirana bersikeras. Ia berusaha menegaskan suaranya lagi walaupun sebenarnya nyalinya ciut. Entah apa yang membuat Kirana menjadi takut dengannya. "Dengan lo dateng tiba-tiba bayarin gue, kesannya gue miris banget. Padahal kan, gue bisa—"
"Bisa apa? Emang miris, kan?"
Kirana melotot. Tapi saat mulutnya hendak mengeluarkan makian lagi, Gabriel menyelanya.
"Kalo gue nggak bantuin lo, lo mau bayar itu pake apa?" Dagu Gabriel menunjuk bungkusan roti di genggaman Kirana.
Kirana diam. Perkataan Gabriel memang benar. Dalam hati, Kirana terus merutuki mulutnya sendiri kenapa sampai bisa berkata seperti itu. Kini, ia benar-benar tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia terlihat sangat kalah sekarang. Memang harusnya dari awal ia tidak perlu berbicara seperti itu!
Kirana bodoh!
"Berarti harusnya gue gak usah bantuin lo ya, tadi?" Gabriel terkekeh, sinis. Tak berniat menunggu jawaban dari Kirana, Gabriel kembali melanjutkan langkahnya. Lagi-lagi, Kirana ditinggal. Namun kali ini, Kirana tidak sendiri. Tapi berdua, bersama rasa malunya.
***
Setelah kejadian di minimarket, Kirana kembali ke halte. Entahlah, Kirana sendiri bingung kenapa ia malah berdiri lagi di sini. Padahal jelas-jelas sekarang pukul lima sore dan tidak akan ada lagi kendaraan umum yang lewat sini.
Menit bermenit berlalu. Langit benar-benar sudah gelap. Lampu-lampu jalanan mulai menyala, membuat Kirana semakin panik. Kirana menggigiti jari jemarinya—kebiasaannya ketika sedang panik. Tubuhnya sudah sangat lelah, kakinya pegal, tapi ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi. Yang ia inginkan saat ini hanyalah; mamanya tidak lembur kerja dan segera menjemputnya ke sini!
Setengah enam. Adzan mulai terdengar samar-samar. Lagi-lagi, Kirana mendesah risau. Tangannya meremas erat ujung seragamnya. Kakinya mulai gemetar. Sampai akhirnya...
"Masih di sini?"
Kirana terlonjak. Sosok laki-laki dengan jaket jeans dan helm full face menghentikan motor besarnya tepat di hadapan Kirana. Kirana mematung. Itu... Gabriel?
"Lo nungguin apa? Bus udah nggak ada yang lewat jam segini."
Iya, benar. Suara itu milik Gabriel.
Kirana berdecak pelan. Iya, tau. Gue cuma lagi nunggu keberuntungan.
"Lo mendadak bisu, ya?" tanya Gabriel. Huh, sarkas. "Mau bareng, gak?"
Kirana tersentak. "A-apa?"
"Mau bareng?"
Mata Kirana membulat. Apa katanya, tadi? Laki-laki itu menawarkan tebengan? Kirana nggak salah dengar?
"Ng-nggak, gue nanti dijemput."
Namun, yang Kirana katakan justru berbanding terbalik dengan kenyataan. Padahal ia tidak tahu mamanya akan benar-benar menjemputnya atau tidak. Dan nyatanya, Kirana benar-benar membutuhkan tebengan!
"Yakin?"
Lagi-lagi, Kirana mengangguk, berbohong.
Gabriel menatap Kirana. Gadis itu berusaha terlihat tenang, tapi Gabriel melihat jelas semburat kepanikan di manik matanya. Meskipun Gabriel masih kesal karena kejadian di minimarket tadi, tetap saja, dia tidak pernah tega melihat seorang perempuan masih berdiri sendirian di halte jam segini.
"Naik."
Suara Gabriel membuat Kirana kembali menoleh, menatapnya. Kenapa laki-laki itu jadi memaksa?
Kirana tetap menggeleng. "Nggak, gue—"
"Keras kepala banget. Lo bakal diganggu sama anak-anak berandal yang suka kumpul di sini."
Kirana menelan salivanya. Gabriel baru saja memarahinya. Dasar manusia aneh. Akhirnya dengan ragu-ragu, Kirana mendekati Gabriel dengan motornya itu. Tapi sebelum Kirana naik ke jok belakang, Gabriel melepas jaketnya, kemudian melemparkannya kepada Kirana. Untungnya Kirana dengan sigap menangkap jaket itu. "Buat nutupin rok lo. Nanti diliat cowok-cowok, gak enak."
Ah, hati Kirana meleleh seketika.
Bahkan ia saja lupa kalau ia sedang memakai rok pendek saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teluk Alaska [Hiatus]
Teen FictionLove Different Religion. Kirana dan Gabriel terjebak di status itu. Saling mengingatkan kewajiban yang berbeda satu sama lain. Saling mendoakan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Mungkin memang terdengar sepele. Namun jika ini terjadi pada kal...