-4- GM Lampir

1.5K 177 16
                                    

GM Lampir

Suara klakson mobil di sisi jalan membuat Irina menoleh. Dilihatnya mobil yang sudah dikenalnya, mobil Saka, berhenti di sana. Irina mendekat dan masuk ke mobil itu.

"Udah selesai diservis?" tanya Irina basa-basi.

Saka hanya mengangguk.

"Kapan ngambil?" tanya Irina lagi.

"Diantar orang bengkel."

Beginilah jika yang diajak bicara adalah titisan patung es. Salah satu tujuan hidup Irina adalah membuat Saka kesal agar ia tak perlu menghadapi ekspresi datar menyebalkan pria itu. Seperti saat ini. Sangat tidak asyik. Terlebih, saat ini ada yang perlu meminta maaf di sini.

Iya, Irina, maksudnya.

Irina mendecak kesal, memasang seat belt dan menatap ke luar lewat jendela mobil. Enaknya bagaimana ia akan memulai?

Minta maaf? No way.

Menjelaskan bahwa ia salah paham? Too much excuse.

Mengamuk? Okay.

"Kamu tuh, kalau ada yang macam-macam ke kamu, harusnya kamu bilang ke aku!" bentak Irina sembari menatap Saka.

Saka yang sedang menyetir mengernyit terganggu. "Kamu tuh, kalau mau bikin kaget kira-kira, dong! Aku lagi nyetir!" Dia balik marah.

Irina merengut kesal. Ia melesakkan punggung ke sandaran jok dan kembali membuang muka ke luar.

"Kenapa? Masalahnya apa? Pak Tiyo? Ngapain lagi?" serbu Saka dengan nada tak ramah.

Irina menoleh pada Saka. "Eky bilang, dia sering genit-genit ke kamu."

"Trus?"

"Ya, kamu kenapa nggak bilang ke aku?"

Saka mendengus. "Emangnya, kamu bisa apa?"

Irina tak bisa menjawab.

"Kamu bahkan diam aja waktu anak-anak timmu ngomongin tubuhku, kan?" lanjut Saka dengan nada meremehkan.

Irina berdehem. "Itu tubuhku, omong-omong."

"Sekarang aku yang pakai," balas Saka. "Kamu juga tadi bilang, kamu akan makai tubuhku sesukamu. Kenapa aku nggak boleh?"

Irina mendesis kesal. "Lihat aja, aku nggak akan lagi bantuin kamu kalau kamu butuh bantuan."

"Emangnya kapan kamu bantuin aku?" balas Saka sinis. "Ini mobil juga masuk bengkel gara-gara kamu, kan?"

"Aku cuma mau bantu ngeluarin mobil dari garasi," Irina membela diri.

"Dan kamu hampir bikin roboh rumahku. Makasih, aku nggak butuh bantuanmu."

Irina mengumpat kesal. "Ya udah, aku juga nggak mau lagi bantuin kamu! Huh!" Irina melengos sebal.

"Siapa juga yang minta bantuan kamu?" Saka masih sempat membalas.

Lihat itu! Titisan patung es itu selalu bersikap buruk pada semua orang!

***

Tak pernah sekali pun dalam hidupnya, Saka melakukan hal yang berujung pada penyesalan. Tak pernah. Sampai jiwanya terjebak dalam tubuh pendek Irina ini.

Saka mendongak menatap sekotak kopi instan di rak atas dapur dengan frustrasi. Ia ingat, ia sendiri yang menyuruh Irina untuk meletakkan stok makanan dan minuman di rak teratas agar mudah dicek dari kejauhan dan tak tercampur dengan yang sudah dibuka. Saka menarik napas dalam, lalu melompat, tangannya menyentuh ujung rak, tapi tak bisa meraih ke dalam.

"Minggir." Suara itu membuat Saka menoleh. Irina yang baru masuk ke dapur berdiri dengan pongah di belakangnya. "Kamu mau ambil apa? Kopi? Teh?"

"Kopi," jawab Saka ketus.

Irina mengangguk. Gadis itu dengan mudah mengambil sekotak kopi instan dari rak atas. Saka tak bisa untuk tidak iri berada di tubuhnya itu. Saka sudah mengulurkan tangan hendak mengambil kotak kopi instan itu, tapi Irina mengangkatnya tinggi.

"Kamu mau ngapain?" tanya Irina tiba-tiba.

Saka mengerutkan kening heran.

"Aku nggak ngambilin ini buat kamu, kok. Aku mau ambil ini buat aku sendiri. Kenapa? Kamu pasti nggak bisa anbil sendiri, kan? Huh, dasar pendek!"

Saka melotot kesal. "Ini tubuhmu, tahu!"

"Kan, sekarang kamu yang pakai," balas Irina santai sembari mengambil sebungkus kopi instan dan mengembalikan sekotak sisanya ke rak atas.

"Irina!" seru Saka kesal ketika gadis itu melenggang pergi setelah mengambil gelas dan teko listrik.

Namun, gadis itu mengabaikan Saka sepenuhnya dan duduk di sofa ruang tengah, bersenandung pelan sembari menyeduh kopinya. Saka mengepalkan tangan geram. Dengan langkah kesal, ia menghampiri Irina. Saka menyambar gelas kopi Irina yang hanya tinggal diisi air panas.

Seketika, Irina menatap Saka kesal. "Jangan sembarangan ngerebut, ya!"

"Besok aku bisa ngomong ke Pak Tiyo kalau kamu yang ngelapor ke aku tentang komplain penyewa itu," singgung Saka.

Irina tampak semakin kesal. "Dasar GM Lam ..." Irina menghentikan kalimatnya dan menutup mulutnya rapat.

"GM Lampir. Itu sebutan anak-anak marketing buat aku, kan? Siapa? Eky? Perlu aku panggil dia juga besok?"

Irina menatap Saka penuh permusuhan. "Iya, iya! Ambil aja itu kopi! Cih! Gitu aja pakai ngancam-ngancam segala."

Irina lalu berdiri dan pergi, tapi dia menyempatkan berhenti di samping Saka, hanya untuk menepuk puncak kepala Saka.

"Kamu tuh, harusnya minum susu, bukan minum kopi, biar cepat tinggi!"

Saka kontan menoleh galak pada gadis itu, tapi Irina sudah kabur ke kamarnya sambil tertawa-tawa. Saka menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Kenapa minum kopi saja ia harus melewati perjuangan sekeras ini? Hanya untuk segelas kopi, ia harus rela direndahkan gadis kurang ajar itu.

Tunggu saja jika jiwa Saka kembali ke tubuhnya nanti. Ia akan membayar semua perlakuan gadis itu padanya karena tubuh pendek sialan ini. Semuanya!

***

TrappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang