-27- Saddest Feeling

1.5K 199 12
                                    

Saddest Feeling

Seminggu sudah berlalu setelah kepergian neneknya, tapi Irina masih mengurung diri di kamar. Di hari neneknya meninggal, setelah pemakamannya, Irina berkeras langsung pulang ke rumah Saka. Dia bilang, jika tetap di rumah orang tuanya, dia hanya akan semain mengingat neneknya. Namun, sejak hari itu, Irina jatuh sakit. Gadis itu demam tinggi selama lima hari. Dua hari terakhir, demamnya sudah turun, tapi dia tak mau keluar dari kamar. Dia bahkan tidak mau makan apa pun seharian ini.

Malam itu, Saka masuk ke kamar Irina membawakan makan malamnya. Seperti kemarin-kemarin, Irina meringkuk di atas tempat tidur, selimut menutupi tubuh hingga kepalanya. Saka meletakkan makanan yang dibawanya ke meja samping tempat tidur, lalu duduk di tepi tempat tidur Irina, memunggungi Irina.

"Nenekmu nitipin sesuatu ke aku buat kamu," Saka berkata.

Ia merasakan gerakan pelan di belakangnya, lalu terdengar suara serak Irina, "Nitipin apa?"

Saka menoleh pada gadis itu. "Aku akan kasih itu ke kamu kalau kamu makan."

Irina mengerjap, matanya sembab. Bahkan, tampak jelas bekas air mata di pipinya.

"Kalau kamu nggak mau, lupain aja." Saka sudah hendak berdiri, tapi Irina beranjak duduk dan menahan ujung belakang kausnya.

"Kamu nggak bohong, kan?"

Saka tak membalas, tapi ia kembali duduk, mengambil makanan, lalu berbalik dan memberikannya pada Irina.

"Aku nggak bohong," ucap Saka.

Irina menatap piring makanan di tangan Saka. Perlahan, tangannya terangkat untuk menerima piring itu. Saka tak melepaskan piringnya, khawatir Irina menjatuhkannya, sampai gadis itu meletakkan piring itu di pangkuannya dan mulai makan.

"Maaf," ucap Irina tiba-tiba.

"Maaf kenapa? Karena kamu udah ngerepotin aku selama seminggu ini?"

Irina menatap Saka. "Kamu sama bundamu ... nggak pa-pa?"

Saka tertegun. Ia tak menjawab selama beberapa saat.

"Maaf, harusnya aku nggak ikut campur masalahmu, tapi ..."

"Kami baik-baik aja," Saka memotong.

Irina terdiam.

"Habisin makananmu," kata Saka. Ia sudah berdiri dan akan pergi, tapi Irina kembali berbicara,

"Aku pikir, lebih baik kalau kamu nggak tahu."

Saka urung pergi, tapi ia tak berbalik untuk menatap Irina. "Itu juga yang aku pikirin waktu aku nggak ngasih tahu kamu tentang keadaan nenekmu," akunya. "Maaf."

Saka menoleh ketika mendengar isakan Irina.

"Kalau kamu mau nangis, habisin dulu makananmu, biar kamu punya tenaga buat nangis," Saka berkata. "Dan aku nggak akan ngasih titipan dari nenekmu kalau kamu nggak habisin makananmu."

Irina mengangguk, lalu menyuapkan makanan ke mulutnya sambil sesenggukan. Entah kenapa melihat itu, dada Saka terasa sesak dengan cara yang menyakitkan. Saka memutuskan untuk pergi dari sana.

***

"Nenekmu udah tahu kalau aku yang ada di tubuhmu itu bukan kamu," beritahu Saka ketika akan memberikan surat titipan nenek Irina pada Irina.

Irina menoleh kaget. "Nenek tahu?"

Saka mengangguk, lalu menyerahkan surat dari nenek Irina.

Irina menatap sepucuk surat di tangannya itu beberapa saat. "Nenek kasih surat ini ke kamu, sebulan yang lalu?" tanya Irina.

"Mamamu yang ngasih ini ke aku sebelum kita balik ke sini minggu lalu."

"Kenapa Mama ngasihin ini ke kamu, bukan ke aku?" heran Irina.

"Mungkin karena waktu itu kamu masih terpukul banget." Saka menunduk kecil ketika memberikan jawaban itu.

Irina menghela napas. Ia menghitung sampai sepuluh sebelum membuka surat itu dan membaca isinya.

Apa kabar, Cucu Nenek?

Sepuluh tahun Nenek nggak lihat kamu di tubuhmu sendiri. Gimana rasanya jadi orang lain?

Irina Sayang, bagaimanapun kamu, kamu tetaplah cucu Nenek, putri mama dan papamu. Kamu cuma perlu jadi dirimu sendiri. Kamu harus bersyukur jadi dirimu sendiri. Dengan begitu, kamu bisa nemuin apa yang benar-benar kamu pengen.

Meski Nenek nggak bisa lagi ada di sampingmu, tapi Nenek akan selalu jagain kamu. Jadi, jangan sedih lagi. Cucu Nenek yang terbaik. Nenek bangga sama kamu, dan Nenek sayang sama kamu, Irina.

Irina membaca surat itu berkali-kali, entah sampai berapa kali.

"Irina?" Panggilan Saka menghentikan Irina mengulangi lagi membaca surat itu.

"Ya?" Irina perlahan mendongak menatap pria yang berdiri di samping tempat tidurnya itu.

"Kamu nggak pa-pa?"

Irina mengangguk. Namun, air matanya sudah jatuh dengan lancangnya di pipinya. Irina menghapus air matanya, tapi tetesan lain kembali lolos.

"Aku nggak pa-pa," balas Irina sembari berusaha menghapus setiap tetes air mata yang jatuh. "Aku nggak pa-pa."

Namun, ketika Saka duduk di sebelahnya, lalu menarik Irina dalam peluknya, tangis Irina pecah. Irina tak berusaha menahan tangisan kerasnya di dada pria itu.

***

Saka membaringkan Irina di atas tempat tidur ketika gadis itu akhirnya lelap setelah menangis selama satu jam di pelukan Saka. Namun, ketika Saka hendak menarik tangannya, Irina memeluk tangannya. Saka sudah akan melepaskan pelukan gadis itu ketika melihat air mata mengalir dari sudut mata Irina. Gadis itu bahkan menangis dalam tidurnya.

Saka akhirnya membiarkan Irina memeluk lengannya, sementara ia duduk bersandar di ujung tempat tidur Irina. Dengan hati-hati ia mengambil surat nenek Irina dari tangan Irina dan membacanya.

Sepertinya Saka tahu, kenapa Pohon Jiwa itu bermain-main dengan jiwanya dan jiwa Irina, seperti yang dikatakan nenek Irina padanya dulu. Saka menatap wajah tidur Irina. Saka pikir, hanya dirinya yang berharap bisa menjadi orang lain.

Nenek Irina memberikan dua surat untuk Saka lewat mama Irina. Yang pertama untuk Irina ini, dan satunya lagi untuk Saka. Di surat itu, nenek Irina meminta Saka menjaga Irina. Itu pulalah alasannya menitipkan surat untuk Irina pada Saka. Di surat untuk Saka itu juga, nenek Irina menuliskan pesan untuk Saka.

Tidak semua orang bisa menjalani hidupmu. Kamu sehebat itu, Saka. Jadi, kamu tidak perlu merasa takut membiarkan orang-orang masuk ke hidupmu. Mereka yang mencintaimu, akan menerimamu apa adanya.

Saka tersenyum sendu mengingat isi surat itu. Nenek Irina benar. Saka yang tak pernah menyadari itu. Ia bahkan mengabaikan orang-orang yang mencintainya karena takut sikapnya ini akan menyakiti mereka. Karena Saka tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Karena Saka tak bisa seperti Irina, yang bisa dengan mudah tersenyum pada orang-orang.

Saka mengusap lembut kepala Irina ketika gadis itu mengigau resah memanggil neneknya dalam tidurnya.

Meski Irina selalu membuat Saka kesal, tapi Saka seringnya iri ketika melihat Irina. Gadis itu begitu mudah disukai semua orang. Gadis itu bisa membuat semua orang di sekitarnya tersenyum karenanya. Hal yang tak pernah bisa Saka lakukan untuk orang-orang di sekitarnya. Terutama bundanya. Juga Irina.

Saka tersenyum mengingat bagaimana Irina selalu kesal padanya. Yah, setidaknya Saka tidak selalu kesal sendirian.

***

TrappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang