-25- Killed by The Truth

1.4K 188 18
                                    

Killed by The Truth

Malam itu, Saka terus memikirkan kata-kata mama Irina setelah kembali ke kamar. Saka tak ingat jam berapa ia tidur. Namun, ketika ia bangun pagi itu, ia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya.

Saka merasa begitu lelah dan pegal. Ia beranjak duduk sembari memijat bahunya. Namun, ia mematung ketika merasakan bahunya terasa berbeda. Lebih lebar. Saka menoleh dan terkejut melihat kaus yang berbeda dengan yang ia pakai kemarin. Kaus ini berwarna ... kuning terang dengan gambar ... Saka menatap bagian depan kaus itu dan langsung melepasnya melihat gambar beberapa pria melotot padanya.

Saka lalu menoleh ke kanan dan kiri. Ia mengenali kamar ini. Meski dalam keadaan sangat berantakan, tapi ia mengenalinya. Ini kamarnya. Mata Saka melebar. Ia berdiri di depan rak buku berpintu kacanya, melihat bayangannya sendiri. Saka perlahan mengangkat tangan, menyentuh wajahnya, benar-benar wajahnya.

Saka seketika terduduk lemas, saking leganya, saking bahagia. Ia kembali ke tubuhnya. Ia kembali!

Seketika, Saka tertawa. Lega.

Namun, ia menghentikan tawanya dan tiba-tiba waspada. Ini bukan mimpi, kan?

Di tengah ketakutannya itu, terdengar gedoran di pintu kamarnya. Lalu, terdengar suara seruan Irina. Benar-benar suara gadis itu.

"Saka! Buka pintunya!"

Saka bergegas menyambar sembarang kaus dari lemarinya, lalu berdiri dan membuka pintu. Detik itu, dilihatnya Irina dengan tubuh pendeknya berdiri di sana. Saka belum sempat mengatakan apa pun ketika tiba-tiba Irina menamparnya.

"Argh!" erang Saka sembari memegang pipinya. "Ngapain kamu nampar aku?"

"Sakit?" tanya Irina.

"Sakit, lah!" sembur Saka.

"Berarti ini bukan mimpi!" seru Irina. "Yeay! Ini bukan mimpi! Aku balik ke tubuhku!" Irina bersorak gembira dan melompat-lompat di tempatnya. '

Sementara, Saka mematung di depan gadis itu. Ia menatap lekat wajah Irina di depannya. Benar-benar wajah gadis itu. Dan ini benar-benar tubuh Irina yang pendek yang ada di depannya.

Ketika Irina berhenti melompat-lompat dan menatap Saka, tatapan mereka bertemu dan detik itu juga Saka terhenyak. Ketika Saka bercermin dan menatap wajah Irina setiap hari, ia tak merasa seperti ini. Ia tak merasakan kehangatan aneh yang melingkupi dadanya kini.

Saka mengernyit dan mundur. Irina mengerutkan kening heran.

"Kenapa? Ada yang aneh sama wajahku?" Irina menyentuh wajahnya sendiri.

Saka tak menjawab. Tiba-tiba, Irina melompat ke arahnya dan menyentuh wajah Saka. Saka menahan napas. Pipinya terasa hangat di tempat Irina menyentuhnya.

Selama sepuluh tahun terakhir, Saka hanya ingin kembali ke tubuhnya. Namun, kini ia kembali ke tubuhnya, ia merasa ... berbeda. Ia merasa tak seperti dirinya sendiri. Tubuhnya, otaknya, hatinya ... entah kenapa terasa ... aneh.

Dan entah kenapa, ia merasa semua itu karena gadis pendek yang kini ada di hadapannya. Irina.

***

Begitu Irina kembali ke kamarnya, lagi-lagi dengan memanjat Pohon Jiwa, Irina langsung berlari keluar kamar dan ke bawah untuk mencari orang tuanya. Dilihatnya mama dan papanya di ruang makan. Irina langsung melompat memeluk mamanya.

"Mamaaa ... aku kangeeen!" seru Irina sembari menciumi wajah mamanya.

Mama Irina kaget dan kelabakan. "Ini kamu apa-apaan sih, Irina? Udah mandi belum? Kok bangun-bangun langsung nyiumin Mama. Iseng apa lagi, nih?" Mama Irina mendorong Irina, lalu menatap papa Irina. "Pa, ada bekas lipstick nggak, di wajah Mama?"

Irina mendesis kesal. "Mama apaan, sih?"

"Ya habis kamu kalau aneh-aneh gini kan, biasanya usil," ucap mama Irina sembari mencubit pipi Irina gemas. "Tapi ... kok mendadak kamu heboh kayak gini? Kenapa? Karena makin tua?"

"Ih, Mama!"

Mama Irina tertawa. "Tapi, udah lama kamu nggak sebawel ini." Mama Irina menatap Irina dari atas ke bawah. "Padahal Mama udah agak lega, kamu nggak aneh-aneh lagi. Tapi kok, ini ..."

Irina berdehem. "Mama kenapa, sih? Masa sama anak sendiri kayak gitu. Mama tuh harus nerima aku apa adanya. Kayak Papa, nih. Iya kan, Pa?" Irina pindah ke sebelah papanya.

Papa Irina mengangguk sambil tersenyum geli.

"Emang Papa yang terbaik," ucap Irina sembari merangkul papanya.

Irina merasakan usapan lembut papanya di puncak rambutnya dan Irina merasakan haru menyesaki dadanya. Ia benar-benar kembali ke tubuhnya, ke keluarganya. Meski mamanya selalu marah padanya, papanya tidak banyak bicara dan kadang terkesan cuek, tapi Irina merindukan ini.

Oh, selama sepuluh tahun, mungkin inilah momen paling membahagiakan untuknya. Momen di mana ia kembali pada keluarganya. Rumahnya.

***

Saka duduk di tepi ranjang, otaknya berusaha mencerna apa yang terjadi. Ini hari ulang tahunnya, tanggal lahirnya. Itu berarti ... tepat sepuluh tahun sejak jiwa Saka dan Irina tertukar. Waktu. Jadi, setelah sepuluh tahun, jiwa mereka kembali.

Saka baru saja mulai tenang ketika teringat apa yang terjadi semalam. Lebih tepatnya, kata-kata mama Irina semalam. Tentang Saka. Tentang bundanya. Tentang keluarganya. Saka harus memastikannya sendiri.

Saka bergegas keluar dari kamarnya dan turun untuk mencari bundanya. Langkahnya terhenti di anak tangga terbawah ketika melihat bundanya sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Ada sepotong ayam utuh dan sebuah kue ulang tahun. Sudah sepuluh tahun Saka melewati hari ulang tahunnya tanpa itu.

"Selamat ulang tahun, anak Bunda," ucap bundanya sembari tersenyum penuh cinta.

Saka mengernyit. Sepuluh tahun sudah ia tak mendengar kalimat itu dan melihat senyum itu. Namun, setelah sepuluh tahun ... ia justru merasa sakit ketika mendengar dan melihatnya lagi. Karena ia takut ... itu bukan yang sebenarnya.

"Saka?" panggil bundanya lembut.

Saka tersadar. "Bunda ..." panggilnya. Suaranya bergetar. Sudah sepuluh tahun ia tak memanggil bundanya seperti itu. Namun, kali ini rasanya benar-benar sakit.

Bunda Saka menghampiri Saka, tampak heran. "Kamu kenapa, Saka? Kok kamu pucat gitu. Kamu sakit?" Bunda Saka mengulurkan tangan hendak menyentuh kening Saka, tapi Saka mundur.

"Bunda ... tolong jawab dengan jujur ke aku," Saka memulai. "Aku ... apa benar ... aku ... bukan anak kandung Bunda?"

Bunda Saka tampak terkejut. "Kenapa ... kamu tiba-tiba ngebahas itu lagi? Waktu itu kamu bilang ..."

"Kita ... pernah ngebahas ini?" Saka mengernyit.

Bunda Saka tampak bingung dan juga cemas. "Saka, kamu nggak enak badan? Kita ke rumah sakit, ya? Biar Bunda ..."

"Kapan kita ngomongin ini?" potong Saka, menuntut.

"Bulan lalu, waktu kamu pulang. Kamu bilang ke Bunda buat jangan pernah lagi ngomongin ini ke kamu."

Saka mengernyit. Itu Irina.

"Saka, kalau kamu marah sama Bunda tentang masalah itu, Bunda bisa jelasin. Itu ..."

Saka mundur ketika bundanya mendekat. Saka melihat sorot luka di mata bundanya. Saka mengernyit merasakan nyeri di dadanya hanya karena melihat itu. Teringat bagaimana ia bersikap dingin pada bundanya selama ini, bagaimana bundanya selalu mencurahakan cinta dan perhatiannya pada Saka, tapi ternyata, Saka tak berhak atas semua itu. Bahkan, ia tak seharusnya menyakiti bundanya seperti ini.

"Saka!" panggil bunda Saka cemas ketika Saka pergi ke pintu depan dan keluar dari rumah itu, pergi ke rumah Irina.

***

TrappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang