22.

1.7K 152 52
                                    

"Berani-beraninya kau menipuku, brengsek!" Pintu terbuka dengan paksa oleh sosok pria dengan wajah tegasnya. Tatapan tajamnya tetap mengarah kedepan dengan ekspresi murka.

Sosok ditengah ruangan itu, menahan nafasnya lalu tetap mengulas senyum tipis.

"Yeonseok...tenanglah"

Yeonsok, pria itu hanya tertawa sarkas, menatap penuh amarah kearah sosok yang duduk disana.

"Tenang? Kau bisa bilang begitu setelah aku mendapatkan rugi sebesar ini?" Matanya tetap menatap nyalang.

"Kau tidak bisa menjalankan bisnis dengan seperti itu. Sudah kubilang, kau tidak harus mempercayai siapapun. Gunakan otakmu bukan perasaan"

Suasana mendadak sunyi, kekecewaan jelas terlihat diwajah itu. Pada akhirnya dia menarik nafas lelah, menatap nanar mungkin kemasa depan nanti.

"Janji tetaplah janji. Aku tak bisa memberikan apapun padamu. Jadikanlah ini pelajaran untukmu"

Pandangan terluka itu begitu jelas. Tatapan mata Yeonseok kosong.

Bagaimana dengan keluarganya?

Bagaimana dengan anaknya? Hanya begini....

Dia hancur dalam sepersekian detik. Tak bisa menjaga harga dirinya.

"Jika aku tahu, sahabatku akan begini. Lantas kenapa aku..."

"Kau salah paham!"

Yeonseok tertawa, miris lebih tepatnya.

"Cih. Ingat ini. Suatu saat kau akan menyadarinya. Kau akan merasakan apa yang kurasa, meski dengan cara yang berbeda. Alam punya cara sendiri, membinasakan orang tak punya hati sepertimu"

Sosok dibalik meja itu sedikit menatap dengan mata melotot.

"Yeonseok, dengarkan aku. Ini tidak..."

"Saya permisi. Tuan Lu"

XXX

Potongan kenangan itu membanjirinya. Segudang penyesalan itu menghantuinya sepanjang hidup. Jika saja...dirinya tak kikir. Jika saja dia bisa membantunya sekali saja, tak akan ada yang terluka disini.

Dia tak akan membentuk monster baru yang berdarah dingin. Mungkin mereka akan berakhir bahagia dengan secuil saja belas kasih.

"Ayah"

Suara Luhan terdengar diruangan itu. Mr Lu agak terkejut, matanya berkaca dengan pandangan kosong. Saat itu, Luhan hanya mematung melihat ekspresi ayahnya sore itu.

"Ada apa?" Raut wajah yang berkeriput itu berubah dalam waktu singkat. Wajah tenang dan tegas kini terlihat kembali. Membuat Luhan bertanya-tanya.

"Kenapa tidak mengetuk pintu dulu sebelum masuk?"

Luhan tersenyum tipis "Aku sudah mengetuknya beberapa kali. Dan, tak mendengar apapun. Jadi...aku masuk dan memeriksamu"

Mr Lu mengangguk paham. Dirinya memandang kedepan begitu Luhan datang mendekat kearahnya dan menaruh beberapa lembar surat diatas meja.

"Aku sudah membuat ini. Ayah bisa memeriksanya dilain waktu, mungkin?"

Mr Lu mengangguk, kembali menatap Luhan lekat lalu tersenyum puas. Begitu Luhan berencana pergi dari ruangan itu, suara tegas itu membuat dia mengurungkan niatnya.

🅳🅾🆄🅱🆃Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang