"Rasa sayange... rasa sayang sayange... beta lihat dari jauh, rasa sayang, sayange..."
Lagu itu terdengar mengudara riuh rendah dengan suara yang saling berpadu gema. Kelas XI IPS 2 begitu menikmati malam ini dengan suasana dingin namun menghangatkan. Di depan api unggun yang menyala mereka bernyanyi dengan riang. Dipandu Pak Yohan yang bermain gitar serta paduan permainan ukulele Sakti yang begitu melengkapi.
Sedang Stefan masih saja diam dan termenung di depan api unggun itu. Dia tidak ikut bernyanyi bersama. Dia masih mengingat kejadian tadi sore, kala Omnya tega membentaknya di depan umum.
Semua murid masih menyanyi bersama dengan gitar Pak Yohan dan ukulele milik Sakti. "Rasa sayange... rasa sayang sayange... beta lihat dari jauh, rasa sayang, sayange..."
Tiba-tiba kala di bait pantun, Lala berdiri dan menyanyikan lirik improvisasinya sambil bertujuan menyindir Stefan dengan irama. "Pergi ke kota, membeli anjing... dipakai kandang kayunya jati... buat apa ikut camping... kalau terus bersusah hati..."
"Ooooowwww..." semua murid menyoraki sekaligus memuji pantun dari Lala tersebut.
Lalu lagu kembali pada refrain, "Rasa sayange... rasa sayang sayange... beta lihat dari jauh, rasa sayang, sayange..."
Tak terima sahabatnya disindir oleh Lala, Desta pun kini berdiri dan turut membalas lirik improvisasi bagian pantun pada lagu tersebut, "Bikin kandang kayunya jati... mau makan nasinya basi... lebih baik bersusah hati... daripada haus atensi..."
"Ooooooowwwwww..." semua murid kali ini lebih berteriak menyoraki sekaligus memuji pantun dari Desta yang menyindir Lala tersebut.
Lalu lagu kembali pada refrain, "Rasa sayange... rasa sayang sayange... beta lihat dari jauh, rasa sayang, sayange..."
Semakin gemas, Lala pun membalas lagi pantun dari Desta tersebut di ikuti irama lagu, "Mau makan nasinya basi... lauknya jumbo untuk Bang Sakti... Lebih baik haus atensi, daripada jomblo sampai mati"
"Ooooooowwwwwwahahahahahahhaa..." Murid-murid tertawa, kemudian melanjutkan bagian refrain lagu kembali.
"Rasa sayange... rasa sayang sayange... beta lihat dari jauh, rasa sayang, sayange..."
Giliran Stefan yang merasa harus membalas Lala. Dia berdiri kemudian menyanyikan lagi bagian pantun, "Pergi ke kota membeli batik... minum kopi rasanya pahit... wahai Nona jangan sok cantik... itu mulut tolong di jahit..."
"Ooooooowwwwwwahahahahahahhaa..." Murid-murid tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. Begitu juga dengan Lala yang tidak kehabisan akal untuk melanjutkan lirik improvisasi pantun lagunya. Sejurus dengan mood Stefan yang berubah drastis menjadi gembira bersama Desta.
"Rasa sayange... rasa sayang sayange... beta lihat dari jauh, rasa sayang, sayange..."
Sementara tak jauh dari tempat Stefan beserta rombongan kelasnya, Devon yang tengah membakar jagung di atas api kecil, seketika melirik ke arah Stefan yang tengah berjoget ria bersama teman-temannya.
Sugeng seketika turut memandangi Devon yang tengah memperhatikan Stefan. Kemudian Sugeng ikut melirik ke arah Stefan sejenak, lalu beralih lagi pada Devon, dan berkata, "Kepona'anmu itu... riang sekali yo, Von?"
Devon sedikit terkesiap mendengar ungkapan Sugeng barusan, kemudian melirik lagi ke arah Stefan.
Sugeng melanjutkan, "Kayak ndak ada masalah hidup"
Devon tertawa singkat, "Itu karena dia masih bisa sanggup, Geng!"
"Hah??? Sanggup opo toh??" tanya Sugeng, tak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKES (END 21+)
General FictionWARNING : LGBT CONTENT 21+ CERITA DEWASA UNRATED!!! HOMOPHOBIC, GO OUT PLEASE! Ketika kamu mengejar suatu kesalahan dan kesalahan itu malah membuatmu menjadi teralihkan pada kesalahan yang lain. Sedang kesalahan yang lalu, masih setia mencarimu. Pad...