Stefan mengurung diri di kamarnya. Tidak sekolah. Tidak keluar kamar. Bahkan tidak melakukan apa-apa. Dia hanya sibuk memainkan ponselnya. Kalau ditanya lapar, memanglah perutnya saat ini keroncongan, tapi dia juga tidak mungkin keluar kamar dan bertemu dengan pamannya. Ngambek ceritanya. Sedangkan pamannya berulang kali mengetuk-ngetuk pintu kamarnya untuk menyuruhnya sekolah, atau paling tidak, hanya sekadar makan kalau masih tidak enak badan. Namun tetap saja tak di gubris oleh Stefan.
~
"Kenapa ya si Stefan itu gak masuk sekolah?" tanya Bara pada Bobi dan juga teman-temannya yang lain.
"Lah, maneh teh amnesia, Bar? Kan kemarin teh kita keroyok sampe bonyok begitu. Kumaha eh" jawab Bobi.
Bara terdiam berpikir sejenak, "Kira-kira itu parah gak sih?"
"Iiih... da kumaha sia mah, lamun teu parah mah pasti udah masuk sekolah dianya juga. Eh, kasep-kasep teh menih blekok pisan" jawab Bobi.
Bara terdiam lagi. Berpikir. "Elo sih! Ikut-ikutan juga!" Bara menoyor kepala Bobi.
"Da aing mah bagaimana yang merintahnya aja atuh" jawab Bobi.
"Emangnya gue nyuruh lu mukulin si Stefan juga?" tanya Bara.
Bobi diam salah tingkah, "Iya juga ya"
"Makanya lo jangan sok pinter!" ujar Bara.
Bobi mengernyitkan kening, "Sia teh kunaon, jadi kepikiran ke si Stepan, Bara???"
Ditanya seperti itu, Bara malah salah tingkah, "Enggak. Gapapa. Penasaran aja"
Lalu Bobi memberikan senyuman ngeri, "Jangan-jangan sia teh kasian nyak, sama si Stepan?"
"Ck! Apaan sih!" ujar Bara.
"Makanya atuh Bar, kalau ingin bertindak teh dipikirkan dulu matang-matang!" jawab teman Bara yang satunya.
~
"Stefan!!! Stefan buka dong pintunya, kita perlu bicara!" panggil Devon pada keponakannya yang sedang merajuk di kamar itu. "Ini udah malem loh, kamu dari tadi pagi tuh belum makan. Kalo sampe sakit gimana?"
Tak lama kemudian, akhirnya Stefan pun membuka pintu kamarnya. Lalu dia berdiri di ambang pintu, persis di hadapan pamannya kini.
"Lagi marah?" tanya Devon.
"Keliatannya gimana?" Stefan balik nanya.
"Ya tapi jangan sampe lupa makan, mandi dan sekolah juga dong"
"Perempuan tadi pagi siapa?"
"Harus ya di bahas juga?"
"Om Devon yang selalu suruh aku untuk jujur. Ngomongnya doang gampang, ngelakuinnya?"
Devon menghela napas sejenak, kemudian memegang kedua bahu Stefan, "Kamu laki-laki. Suatu saat kamu pasti ngerti apa kebutuhan kamu"
"Seks?"
Devon menelan ludah. Sementara Stefan masih terus menatap pamannya dengan tajam. Lalu Devon pun mengalihkan topiknya, "Maaf saya sudah nampar kamu kemarin"
"Aku minta hadiah"
Devon membuang napas, "Hadiah apa?"
"Cium aku"
Devon tak berargumen apa-apa, lalu kemudian dia mendaratkan bibirnya di pipi Stefan. Tiga detik waktu yang cukup baginya untuk melakukan itu pada keponakannya. "Udah"
"Di bibir"
"Hah?"
"Om sayang sama aku, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKES (END 21+)
General FictionWARNING : LGBT CONTENT 21+ CERITA DEWASA UNRATED!!! HOMOPHOBIC, GO OUT PLEASE! Ketika kamu mengejar suatu kesalahan dan kesalahan itu malah membuatmu menjadi teralihkan pada kesalahan yang lain. Sedang kesalahan yang lalu, masih setia mencarimu. Pad...