Stefan duduk diam di dalam mobil tak bersuara apa-apa. Pikirannya mengawang kemana-mana. Labil. Dia memang sangat labil. Seharusnya dia tidak perlu lagi kepikiran akan keperawanannya yang dibobol oleh pamannya itu. Tapi entah kenapa, kejadian semalam begitu membuatnya malah terus kepikiran.
"Kamu kenapa, Fan?" tanya Devon yang masih sibuk menyetir. Mereka akan pulang ke rumah. Malam ini, mereka sudah ada di jalan menuju rumah mereka.
"Enggak. Gapapa, Om" jawab Stefan.
"Jangan bohong" ujar Devon. "Masih soal tadi malem ya?"
Stefan memandangi pamannya dengan cemas, lalu dia memegang batang lehernya ketika teringat akan cekikan Om Devon yang kasar tadi malam. "Aku... aku jadi takut sama Om Devon"
Devon tersenyum dingin, "Takut kenapa? Emangnya Om Devon pembunuh?"
Mendengar pamannya berkata seperti itu, Stefan mendadak sensitif. "Kok Om Devon ngomong begitu?"
"Lah, terus apa yang kamu takutkan pada saya, Stefan?"
"Pantatku masih sakit" ujar Stefan.
"Memang begitu, kalau awal-awal, pasti terasa nyeri"
"Aku gak mau Om Devon cekik aku lagi" tegas Stefan, "Aku salah apa sama Om Devon sampai Om Devon cekik aku seperti itu tadi malam?"
"Loh, saya pikir kamu juga menikmatinya, Fan"
"Aku nikmatin"
"Ya"
"Aku juga sayang sama Om Devon"
"So? I love you to, dear? Then what?"
"Jangan cekik aku. Aku gak ngerasa Om Devon itu sayang sama aku kalau Om Devon sekasar itu sama aku"
Sejurus Devon menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Lalu ditatapnya Stefan lekat-lekat.
"Kenapa berhenti, sih? Hah???"
Devon geram dengan sikap Stefan yang mendadak aneh seperti ini. Dia heran dengan keponakannya yang begitu sentimentil kali ini. Dia bisa paham, mungkin tak mudah bagi Stefan untuk kehilangan satu hal besar dalam hidupnya. Serta dengan usianya yang masih begitu muda dan di bawah umur. Tapi Devon sangat tidak menyukai sikap Stefan kali ini. Dia juga benar-benar merasa di permainkan. Lalu Devon mencondongkan wajahnya ke arah Stefan. "Saya mau tanya serius sama kamu, Stefan! Tadi malam itu... atas dasar keinginan siapa, hah? Apa gue yang maksa lo untuk ngelakuin itu, ENGGAK KAN?" ada penekanan dari Devon di akhir kalimat.
Stefan terdiam, mulutnya bergetar ketika di skakmat seperti itu.
"Dan ketika lo tau gaya seksual gue yang sebenarnya memang seperti itu, terus lu mau protes, Stefan? HAH? Enak ya, jadi anak MAN-JA kayak lo!!! Labil!"
Stefan melelehkan air matanya. Untuk kesekian kali, dia merasa sakit hati dengan kata-kata yang keluar dari mulut pamannya. Sekarang dia sadar, dengan siapa dia berhadapan. Tapi disisi lain, dia juga tidak terima dengan kalimat pamannya itu.
"Hebat banget lo pakai senjata air mata. Dasar bencong!"
Stefan menggigit bibirnya. Dia geleng-geleng dan berusaha menyeka air matanya. "Gue pikir lo udah bener-bener berubah. Ternyata enggak!" Stefan keluar dari mobil lalu menutup pintu mobil dengan kencang. BRAKK!!! Lalu dia membungkuk dan berujar pada Devon di sela jendela mobil yang setengah terbuka, "Kalo lo gak niat tidur sama gue, ngapain lo bawa kondom, NGENTOT!!!"
"Stefan!!!" teriak Devon.
Setelah puas berkata kasar seperti tadi, Stefan pergi berlari sejauh mungkin meninggalkan mobil pamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKES (END 21+)
General FictionWARNING : LGBT CONTENT 21+ CERITA DEWASA UNRATED!!! HOMOPHOBIC, GO OUT PLEASE! Ketika kamu mengejar suatu kesalahan dan kesalahan itu malah membuatmu menjadi teralihkan pada kesalahan yang lain. Sedang kesalahan yang lalu, masih setia mencarimu. Pad...