"Kamu mesti sekolah!" ujar Devon ketika selesai mandi dan duduk di ruang tengah, di hadapan Stefan yang sedari tadi sudah menyiapkan teh hangat untuk Omnya tersebut.
"Di minum Om" kata Stefan sambil memberikan gelas yang berisi teh hangat tersebut, Lalu Stefan kembali duduk, kemudian bersuara dengan hati-hati, "Aku sebenarnya bisa nunda sekolah kok, Om"
"Nunda sekolah?" Devon menaruh gelas tersebut di atas meja, "Mau jadi apa nunda-nunda sekolah?"
Mata Stefan bergerak kesana-kemari. Lagi-lagi dia bergidik dengan tatapan pamannya tersebut. "Aku kan cuma gak mau ngerepotin Om Devon"
"Kalau kamu memilih tinggal sama saya, itu artinya juga kamu harus ikutin omongan saya" jawab Devon.
"Iya, Om!"
"Besok kamu telpon orang tua kamu. Bilang kalau Om Devon bakal ngurus kamu sampai kamu nyerah dan balik lagi ke mereka"
Stefan malah bingung, "Tapi hapeku kan aku tinggal di tenda, Om. Hubungin gimana?"
"Saya masih simpan nomor papa kamu, dan untuk sementara kamu pake hape saya aja dulu. Biar saya pake hape lama saya"
"Gak usah Om, jangan, nanti..."
"Kamu mau bikin orang tua kamu tambah khawatir???"
"Tapi nanti Om..."
"Jangan ngebantah. Yang jelas kalau kamu malas belajar, hapenya akan saya sita"
Stefan mengangguk, paham.
~
"Halo... Pah?" Stefan bersuara di telpon pada Papanya itu.
"Ya Tuhan, Stefan!!! Ini kamu, Nak?" Carlos terdengar histeris sekaligus antusias disana. "Maaa!! Mama!!! Ada telpon dari Stefan, Maaa!"
Stefan mendengar nada papanya mencoba menyunggingkan senyuman dengan mata yang berkaca-kaca, "Iya, Pa" dia tahu mungkin ini adalah keputusan terberaninya dalam hidup yang pernah ia ambil. Namun dia yakin, semuanya akan baik-baik saja.
"Halo... kokoooh??? Ini Mama sayang!" gantian Vero yang bersuara, setelah Carlos menekan tomblol pengeras suara pada ponselnya.
"Hai Ma? Apa kabar?"
"Kokoh... Kokoh sehat kan? Kokoh baik-baik aja, kan?"
"Stefan baik-baik aja, Ma. Sadha gimana?"
"Kami semua disini cemas sama kamu, Nak! Pulanglah sayang! Mama kangen banget sama kokoh" ujar Vero kemudian menangis.
Stefan tak kuasa menahan air matanya, namun dia berusaha untuk kuat dan tegar. Ini pilihannya. Dan dia yakin akan itu. "Ma... Pa... ini nomor baru Stefan! Kalau kalian mau hubungi Stefan di nomor ini aja ya. Stefan di kasih handphone sama Om Devon"
"Kamu dikasih handphone sama Om Devon?" ulang Papa, heran.
"Iya, tapi dengan syarat kalau Stefan malas belajar, hapenya akan disita dulu"
"Apa?? Jadi maksudnya? Kamu mau sekolah disana? Ini... kamu dimana sih, Naaak?" tanya Papa, cemas.
"Stefan di Bogor, Pah, Mah. Stefan ikut sama Om Devon, supaya Stefan bisa mandiri dan belajar untuk lebih bertanggung jawab. Papa sama Mama tenang aja ya, Stefan bisa jaga diri Stefan baik-baik kok. Lagian, Om Devon sama sekali gak bawa pengaruh buruk sama Stefan. Jadi tolong, Stefan mau tenang dulu ya, Pah... Mah... gak usah cari Stefan dulu. Stefan baik-baik aja. Kan Stefan juga dari kecil udah biasa dititipin sama Mama Papa ke Om Devon"
"Yaudah, kamu tapi masih pegang ATM kan?"
"Iya, Pah. Ada"
"Kamu pegang aja, tiap bulan Papa transfer ya"
"Iya Pah. Papa sama Mama sama Sadha sehat-sehat ya. Yang akur. Tuhan bersama kalian"
"Iya sayang..."
Stefan yang sedari tadi tidak mendengar suara Mamanya terkekeuh dan langsung bersuara lagi, "Ma..." dia tahu Mamanya pasti sedang bersedih dan menangis. Dan nyatanya benar, Vero hanya bisa terisak penuh tangis. "I'll be okay, Mom! Don't worry about me. Please don't cry! Just... please blessing me everytime. Like me too"
"Kamu baik-baik ya Nak!" ujar Mama.
"You too Mom!" ujar Stefan.
"Sampaikan salam Papa dan Mama buat Om Devon. Bilang ke dia, terima kasih banyak sudah mau merawat kamu. Opa dan Papa selalu menunggunya pulang" ujar Papa dengan lirih.
"Iya Pa..." jawab Stefan, "Salam juga untuk Sadha"
"Iya Nak"
Telpon ditutup.
Lalu Stefan bergeming sejenak. Jujur setelah baku sapa dengan kedua orang tuanya via telpon, dia malah semakin merindukan keluarganya tersebut.
"Are you okay?" tanya Devon sehabis mandi dan sibuk mengusap-usap rambutnya dengan handuk. Dia hanya mengenakan celana pendeknya.
Stefan tercekat melihat pamannya itu, "Eh.. Om Devon"
"Kamu sudah menghubungi Papa Mama kamu?" tanya Devon.
Stefan gelagapan, gagal fokus pada badan pamannya yang atletis itu. "U-udah Om"
Satu detik. Dua detik. Lima detik, mereka saling adu tatap, Stefan yang sudah siap dengan seragam sekolahnya itu buru-buru sadar kemudian berjalan menuju dapur. "Om siap-siap aja ya, biar aku buatin sarapan"
"Kamu mau bikin apa? Kan saya belum beli persiapan makanan apa-apa"
Stefan mendadak bingung, "Mmm... mau aku bikinin nasi goreng?"
"Belum beli berasnya juga. Belum lagi masak nasinya. Makanya nanti sore, saya minta tolong kamu temenin saya ke supermarket, belanja bulanan"
"Om Devon ada uang?"
"Gak usah nanya-nanya. Yang jelas saya punya, dan akan cari lagi uang halal!" jelas Devon, "Kamu tunggu saya sebentar, nanti kita sarapan di luar"
Stefan manggut-manggut, "Mmm kalau gitu... aku buatin teh aja ya, Om"
"Jangan pake gula"
"Iya Om. Siap"
~
Di dalam taksi online, Stefan dan Devon hanya saling diam dengan pikiran mereka masing-masing. Namun sesekali Devon melirik ke arah keponakannya yang terlihat ganteng dan rapih dengan seragam sekolahnya, sedang nampak tak tenang dan risau.
"Kamu kenapa sih?" tanya Devon pada Stefan, "kok keliatan gelisah?"
Stefan memberikan senyuman paksa, "Gapapa Om. Cuma..."
"Nervous??? Sekolah baru?"
Stefan tersenyum kecut dan mengangguk.
"Apa sih yang di takutin?" ujar Devon sambil memandangi jalanan dari jendela, "Jadi laki-laki itu harus cepat beradaptasi dan mampu bersosialisasi"
Stefan menghela napas, "Iya, Om"
"Udahlah, santai aja. Bogor orangnya ramah-ramah, kok. Iya kan, Pak?" tanya Stefan pada supir taksi.
Supir taksi tersenyum, "Iya, Pak! Itu siapanya, Pak?" tanya supir taksi pada Devon.
Devon tersenyum kecil kemudian berujar, "Anak saya"
Mendengar ucapan itu, Stefan meleleh.
"Anak kok tadi manggilnya Om?"
Stefan dan Devon berpandangan.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKES (END 21+)
General FictionWARNING : LGBT CONTENT 21+ CERITA DEWASA UNRATED!!! HOMOPHOBIC, GO OUT PLEASE! Ketika kamu mengejar suatu kesalahan dan kesalahan itu malah membuatmu menjadi teralihkan pada kesalahan yang lain. Sedang kesalahan yang lalu, masih setia mencarimu. Pad...