"Tunggu tunggu tunggu... maksud kamu apa sih? Siapa orang yang kamu maksud? Stefan?" tanya Devon bingung.
Jeff tersenyum sinis pada Devon, "Aku rasa untuk dapetin hati Stefan kita cuma punya satu musuh?"
Devon mengernyitkan kening. Masih tidak mengerti siapa yang dimaksudnya. Lalu dia teringat akan satu orang yang pernah mengaku menjadi pacar sejenisnya Stefan. "Bara?" tanya Devon hati-hati.
Jeff tersenyum lalu mengangguk. "Exactly"
"Kamu punya masalah apa sama Bara?" tanya Devon penasaran.
Jeff pun mendengus sebal ketika nama itu disebut. Dia meminum beernya dengan beberapa tegukan. "Dia sepupu saya. Dan dia pacarnya Stefan. Sekarang Stefan tinggal di rumah Bara"
"Serius kamu?
"Iya"
"Selama ini?"
"Ya! Selama setahun ini"
Devon merasa heran, "Jadi Stefan gak pernah datang ke rumah itu lagi?"
"Ngapain? Dia juga udah nyaman, ada Bara yang selalu setia disisinya setiap saat" jelas Jeff berapi-api.
Devon mendadak bungkam dan tergugah. Jadi Stefan benar-benar sudah tidak peduli lagi padaku. "Pantes waktu di acara dia kayak biasa-biasa aja"
"Dia memang udah gak peduli lagi sama Om Devon. Dan dia bisa begitu karena kehadiran Bara, kan? Sejak dia hadir di hidup Stefan, semua masalah pasti berhubungan kan sama Bara?" tanya Jeff.
Tebakan Jeff betul-betul di benarkan oleh Devon. Sejak Stefan kenal dengan Bara, masalah selalu berhubungan dengan Bara. Devon memikirkan lagi tawaran Jeff matang-matang. Dan akhirnya dia pun setuju untuk kerja sama dengan Jeff. "Kalau begitu, saya harus apa? Saya gak tau harus mulai darimana. Karena sekarang saja Stefan sudah benar-benar gak mau berhubungan dengan saya lagi. Bahkan orang tuanya"
Jeff menertawakan keluguan Devon, "Goshhh.. come on, Uncle! Kita kesampingkan dulu orang tuanya Stefan. Om Devon itu... jauh lebih punya keleluasaan atas Stefan selagi Om dan Stefan masih ada disini! Ngapain pusingin orangtuanya Stefan?"
Devon diam membenarkan. "Kamu kayaknya kesumat banget. Kamu berharap ini akan bener-bener berhasil ya?"
"Of course! Asal Om Devon tau ya! Terakhir yang ngebuat saya benar-benar muak sama Bara. Yaaa sedikit muak juga lah ke Stefan, karena Stefan itu hampir mati atas ulahnya Bara"
"What??? Really?"
"Ya! Dia hampir mati karena tenggelem. Saya, Om! Saya yang nolongin keponakan tersayang Om itu. Tapi nyatanya apa? Malah Bara yang tetap di nomor-satukan. Sementara aku?" Jeff tidak punya nyali untuk mengakui kekalahannya di depan Devon. "Saya benci sama Bara, Om! Di rumah, dia selalu jadi kebanggan Om dan Tante saya. Saya iri dengan kehidupannya yang semua semau dia serba ada. Nggak kayak saya" Jeff menunduk malu dengan air mata yang tak mampu terbendung lagi. Dia menangis begitu dia benar-benar merasa keadilan tidak pernah berpihak pada hidupnya. Dia terisak sesenggukan, "Bukannya saya gak bersyukur dan tau diri. Tapi kehidupan saya yang mengajarkan saya akan gelapnya ini semua untuk saya hadapi sendirian. Saya sendirian"
Devon memajukan tubuhnya. Lalu tangan kanannya mengangkat dagu Jeff pelan-pelan, "Hey, kid..."
Jeff menatap mata Devon yang menenangkan. Bertanya-tanya apa artinya ini. Apa arti tatapan itu. Mengapa terasa meneduhkan. Entahlah.
Devon melanjutkan, "Be strong! Tegarlah... You're a not alone!!"
Jeff terdiam sampai dia merasakan ada tarikan perlahan yang membuatnya terjatuh pada pelukan Devon yang menghangatkan. Mungkin ini yang ia rindukan. Mungkin ini yang sangat dia perlukan. Bahkan tak bisa dia dapatkan walau dari Stefan sekalipun. Jeff menempelkan kedua matanya pada pundak kiri Devon. Dia menangis disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKES (END 21+)
General FictionWARNING : LGBT CONTENT 21+ CERITA DEWASA UNRATED!!! HOMOPHOBIC, GO OUT PLEASE! Ketika kamu mengejar suatu kesalahan dan kesalahan itu malah membuatmu menjadi teralihkan pada kesalahan yang lain. Sedang kesalahan yang lalu, masih setia mencarimu. Pad...