Bab 7

307 30 0
                                    

Di tengah perjalanan pulang, aku mampir ke toko perlengkapan bayi. Aku sangat gemas melihat betapa lucunya baju-baju bayi yang di pajang toko itu.

"Beli buat siapa, Frey? Lo kan belum punya suami. Apalagi anak, wkwkkw," canda Rayden.

"Kumat deh, uslinya. Oiya Ray, lo ingat Uncle Arnold Russell? Kakaknya Ayah yang tinggal di Canberra, Aussie. Istrinya, Aunt Stella lima bulan lalu ngelahirin anak cewek dan besok insyaa Allah udah nyampe di kota kita, Bogor." Ujarku panjang lebar.

"Wah, ya gue baru inget. Kalo dipikir-pikir lucu ya, Ayah kita bertiga yang bule bisa nikah sama perempuan Indonesia. Tapi itu nggak berlaku sama Uncle Arnold yang nikah sama bule juga. Hahaha," ujar Rayden sambil tertawa.

Kami pun tertawa bersama.

"Gue penasaran, nama anaknya siapa? Eh, kalo dipikir-pikir beruntung banget gue nginep lima hari di rumah lo, Frey. Jadi bisa puas mandangin wajah si baby bule, wkwkwk" kata Davina.

"Kata Mama, namanya Maira Caroline Russell. Awalnya, nama depan si baby bukan Maira, tapi Haura. Tapi kata Aunt Stella, nama Haura udah dipake banyak orang. Jadilah nama Maira sebagai nama depan," jelasku.

"Kalo gitu kita beliin hadiah buat Maira juga ya. Eh Ray, kita patungan kuy," ajak Davina.

"Boleh. Alhamdulillah gue bawa duit," ujar Rayden.

Kami bertiga kembali memilih baju untuk Maira.

Aku membeli dress bayi warna soft pink dengan motif polkadot berwarna merah dan jumper bayi berwarna tosca dengan gambar cupcake di tengahnya. Tak lupa aku membeli legging bayi berwarna putih untuk dikenakan bersama jumper yang ku belikan.

Setelah aku membayar belanjaanku, aku melihat Davina dan Rayden menuju ke arahku.

"Frey, liat deh. Gue sama Ray beli piyama bayi motif flamingo sama bandana bayi. Ih lucu banget. Ada yang pink, putih, ungu..." Celoteh Davina.

"Frey, tau nggak. Si Vina pas liat bandana ini langsung kalap. Udah gue ingetin, jangan boros. Boros itu temennya setan. Alhamdulillah dia sadar," kata Rayden sambil memasang raut wajah yang minta ditampol.

Aku dan Rayden tertawa melihat Davina cemberut.

Setelah urusan membeli hadiah ini selesai, kamipun pulang ke rumah.

🌾🌾🌾

"Mama, Ayah. Kami pulang, Freya beliin Pukis buat kalian," ujarku pada Mama dan Ayah yang tengah menonton televisi di ruang tengah.

"Alhamdulillah, makasih ya sayang. Oh iya, Vin. Tadi Papa kamu telepon, nanya kabar kamu. Om bilang kalo Vina lagi keluar sama Freya," kata Ayah.

"Kalo gitu abis ini Vina video call sama Papa. Makasih ya Om Ivan," kata Davina.

"Oh iya, Ma. Uncle Arnold kapan sampai ke sini?" Tanyaku.

"Insyaa Allah sebentar lagi sampai, sayang. Barusan Ayah ke bandara jemput mereka," balas Mama.

"Kalo gitu Freya sama Vina ke kamar dulu ya, Ma." Ucapku.

Keesokan paginya, saat aku dan Davina hendak ke kamar mandi untuk berwudhu kami berpapasan dengan Uncle Arnold. Rupanya beliau sudah sampai.

"Good morning, Freya. Long time no see, Uncle kangen banget sama Freya. Ini Davina Winston kan? Putri tunggalnya Ben?" Tanya Uncle.

"Iya, Uncle. Ternyata masih ingat sama Vina juga, ya." Ujar Davina.

"Iya lah. Kalian kan udah berteman dari kecil. Oh iya, Rayden Finn rumahnya masih di sebelah kan, Frey?" Tanya Uncle.

"Iya, Ray rumahnya tetep kok," jawabku.

"Uncle ingat waktu kamu 17 tahun, kamu pernah curhat ke Uncle kalo kamu naksir sama dia," kata Uncle.

Bersambung...

Freya's Sincere Love - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang