Bab 23

208 19 0
                                    

Saat kami tengah lahap memakan makanan kami, dari kejauhan terlihat Reino dan seorang lelaki berjalan mendekati kami.

"Hai Frey. Kebetulan kita ketemu di sini," sapa Reino.

"Kita boleh gabung? Oh iya, perkenalkan gue Roni Ferdinan, saudara kembarnya Reino." Ia menjulurkan tangannya.

Sontak, kami bertiga mengatupkan kedua tangan untuk menghindari berjabat tangan dengan non mahram.

Sekilas, Roni melihat kami dengan tatapan aneh. Ia berbisik ke telinga kakaknya, "Rei, lo yakin mau berteman sama mereka. Keliatannya gimana gitu. Mending kita ke kafe."

"Sst. Lo liat nggak cewek yang pake hijab biru muda. Dari pertama gue ketemu dia bareng Rayden di Singapura, gue langsung tertarik, bro. Dia beda dari cewek lainnya," bisik Reino.

"Buset lo, Rei. Lo kan udah punya Anggun," ujar Roni.

"Tapi Freya ini beda, Ron. Lagian apa lo nggak naksir sama cewek berambut ikal yang duduk di sebelah Freya. Dia cakep juga, lho Ron," kata Reino.

"Bener juga, lo. Kuy, buruan kita ke mereka sebelum mereka selesai makan," tukas Roni.

Dalam diam aku, Vina, dan Roro saling bertatapan.

"Gimana nih, guys. Kalo mereka gabung sama kita, bisa-bisa kita ikhtilat," ujar Roro.

"Hah? Ikhtilat itu apa sih? Nggak ngerti gue," tanya Davina.

"Vin, ikhtilat itu campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Lagian, apa lo nggak risih lagi enak-enak makan malah diganggu sama dua cowok nggak jelas," ucapku panjang lebar.

"Iya juga, sih. Nah, gue punya ide, gimana kalo kita buruan habiskan makanan kita. Habis itu kita cau deh," ujar Davina.

Kami setuju dengan usul Davina, namun sebelum makanan kami habis, Reino dan Roni terlanjur duduk di depan kami.

"Bang, pesen nasi goreng ekstra pedas dua ya?" Ujar Reino pada Abang penjual nasi goreng.

Ia lalu melemparkan tatapannya kepadaku saat aku menutup kotak bekalku. "Lho, nggak ikut makan juga?"

"Nggak, gue kesini cuma mau nemenin mereka aja," kataku sambil melirik ke arah Davina dan Roro yang sedang berusaha menghabiskan makanan dengan cepat.

"Alhamdulillah habis," ujar Davina dan Roro serentak.

Ingin aku tertawa terpingkal-pingkal melihat mereka terburu-buru menghabiskan sisa makanan. Saat mereka hendak membayar makanan, Roni menghalangi mereka berdua.

"Biar gue yang bayar," katanya.

"Eh, nggak usah. Kami bisa bayar sendiri kok," kata Davina.

"Oh, nggak apa-apa. Kita kan teman, sekali-kali gue traktir nggak apa-apa kan?" Ucap Roni.

"Kalo lo maksa, ya sudah. Thanks ya Ron," ujar Davina.

Aku, Roro, dan Davina akhirnya meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega.

Malam harinya...

"Frey, Ayah berangkat dulu ya," kata Ayah.

"Memang Ayah mau ke mana? Kok rapi banget," tanyaku.

"Freya lupa ya, Ayah berangkat ke Norway malam ini karena ditugaskan bosnya, nak," ujar Mama menjelaskan.

"Oh iya, Frey lupa. Hati-hati di sana, Ayah."

Aku mencium tangan Ayah, setelah Ayah pergi Mama lantas masuk ke dalam. Sebelum aku menutup pagar, Rayden berdiri di depanku.

"Baa!" Kejutnya.

"Astaghfirullah, lo bisa nggak stop kagetin gue!" Protesku.

"Hehe, sorry Frey. Eh, Om Ivander berapa lama ke Norway?"

"Seinget gue dua minggu. Tunggu, kok lo tau? Lo nguping ya?" Ejekku.

"Dikit, hehe. Oiya, gue ke sini mau ngasih lo ini." Rayden menyerahkan sekotak kado padaku.

"Wow, apaan ini? Btw, thanks ya," ucapku.

Aku memasuki kamar dan mulai membuka isi kotak itu. Dan isinya adalah...

Bersambung...

Freya's Sincere Love - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang