Bab 29

208 20 0
                                    

Singapura, Maret 2020
*Raihan's Point of View*

"Assalamu'alaikum, Ibu." Aku memasuki kamar apartemenku dengan riang. Hari ini, Ibuku datang berkunjung ke Singapura.

"Wa'alaikumussalam, anak sulung Ibu. Sudah selesai mengajar, Nak? Ayo, makan siang sama-sama. Ratih, ayo makan Nak."

Aku tersentak. "Wah, Ratih ikut juga?"

"Iya. Kenapa tanya-tanya gitu? Kangen ya?" Tukas Ratih tersenyum.

"Ih, siapa yang kangen kamu. Abang tuh kangen sama Umar tau," godaku.

Rupanya aku berhasil membuat Ratih cemberut.

"Ih, Abang. Udah jarang ketemu, sekalinya ketemu yang dikangenin anak aku mulu."

Aku dan Ibu tertawa mendengar celotehan Ratih.

"Hahaha, Abang cuma bercanda, Dik. Abang kangen kamu juga," ucapku sambil memeluk adikku.

"Adhi sama Ayah nggak ikut, Bu? Eh, keponakan kesayanganku mana?"

"Kalo tanya satu-satu dong," protes Ratih.

Ibu tersenyum. "Adikmu Adhi kan kuliah, jadi nggak bisa ikut. Otomatis Ayahmu menemani dia di rumah."

"Umar juga nggak aku ajak karena dia baru sembuh dari demam. Jadi dia di rumah sama Mas Daffa dan Ibu Mertua," ujar Ratih menjelaskan.

Kami bertiga makan bersama di meja makan. Hari ini Ibu memasak makanan kesukaanku, yaitu telur balado.

"Raihan sudah mengajukan cuti ke pihak kampus, Nak?" Ujar Ibu memecah keheningan.

"Sudah, Bu. Malam ini Raihan mau packing dan booking tiket pesawat. Besok paginya kita bisa pulang ke Indonesia sama-sama." Balasku.

"Tentang perempuan itu, ceritakan dong, Bang. Bagaimana bisa seorang Raihan yang kalem jatuh cinta sama perempuan yang bahkan baru dikenalnya?" Tanya Ratih dengan detail.

"Ibu juga penasaran. Habisnya Ibu kaget, Raihan tiba-tiba meminta izin kepada Ibu untuk melamar perempuan yang Ibu sendiri belum pernah jumpa." Tukas Ibu.

"Sebelumnya, Abang sudah menceritakan hal ini kepada Ibu. Waktu itu Abang terburu-buru dan nggak sengaja menginjak kakinya waktu dia dan temannya makan di Subway. Abang meminta maaf dan berniat membayar pesanannya, tapi ia menolak."

Aku berhenti sejenak. Aku meminum teh Peppermint-ku beberapa teguk.

"Setelah itu Abang kira kami nggak akan bertemu lagi. Ternyata Abang salah. Setelah beberapa kali bertemu secara tidak sengaja, disitulah perlahan Abang jatuh cinta pada sosok Davina. Dia perempuan yang polos, jujur, dan apa adanya. Dan satu lagi, dia adalah perempuan yang sangat ceria."

"Wow, ternyata anak Ibu sangat pandai dalam menilai orang. Kamu juga pernah bilang, sering mengontak teman-temannya untuk mengorek keterangan dan sifat sesungguhnya dari Davina ini," ucap Ibu.

"Iya, Bu. Raihan ingin memastikan apakah dia benar-benar perempuan baik, atau hanya luarnya saja yang kelihatan baik. Dan yang membuat Raihan semakin yakin, Ibu langsung menyetujui ide Raihan untuk melamar Davina."

"Benar juga. Dulu Ibu selalu menolak dan nggak suka sama setiap perempuan yang mendekati Bang Raihan. Sekarang malah Ibu setuju," kata Ratih.

Ibu tersenyum. "Entah kenapa Ibu rasa, Davina ini berbeda dengan yang lain. Ibu semakin yakin waktu Raihan bilang, walaupun dia belum berhijab tetapi dia memiliki akhlak yang baik dan mau belajar agama. Alasan itu yang membuat Ibu yakin dengan pilihan Raihan."

Alhamdulillah, Ibu merestui pilihanku. Sebaiknya aku segera mengabari Freya dan Rayden bahwa aku siap melamar Davina minggu depan.

****
"Frey, udah siap?" Teriak Davina.

"Udah, yuk berangkat. Oiya, Mama bawain kita dua payung. Khawatir kehujanan di kampus," kataku.

"Makasih payungnya Tan," ucap Davina setengah teriak.

"Iyaa, sama-sama." Balas Mama.

Saat kami masuk ke dalam mobil milik Ayahku, tiba-tiba ponselku bergetar.

Ah, pesan dari Raihan rupanya. Aku membuka pesan itu, dan isinya...

Bersambung

Freya's Sincere Love - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang