Nostalgia

14 5 5
                                        

Laju motor Heisan berhenti tepat di depan pintu masuk TPU, Hailana segera turun dari motor, namun tidak dengan Heisan ia memilih menunggu saja diatas motornya bukannya apa-apa ia hanya tak ingin membuat Hailana risih karena diikutinya, itu saja.

Angin sore di pemakaman menerpa Hailana yang membuat rambut dan roknya sedikit bergoyang.

Hailana mulai menelusuri jalan setapak yang menghubungkan antara pemakaman satu dengan yang lainnya.

Langkah kakinya berhenti tepat di depan makam dengan nisan bertuliskan Saina Fitrianingsih, nama ibunya.

Kini tangannya mulai sedikit mencabuti rumput liar yang tumbuh tinggi diatas peristirahatan terakhir dari sang ibu, sedikit mengusap nisan yang sudah sangat usang.

Hailana menghentikan do'anya saat suara anak kecil yang berada dipangkuan sang ayah tengah menangis begitu histeris, tak jauh dari tempat Hailana berjongkok ada proses pemakaman yang baru saja selesai, mungkin yang meninggal adalah salah satu anggota keluarganya atau bahkan, ibunya, sama seperti dirinya.

Hailana merasa lebih beruntung daripada anak itu, ibunya meninggal pun Hailana tak menangis sedikitpun, karena memang saat itu umurnya baru saja 4 bulan, tak mengerti apa-apa.

Ia sedikit terkesiap saat baru menyadari bahwa ada Heisan yang menunggunya di depan sana, kalo tidak Hailana akan lupa waktu dan terus berada disana untuk berbicara sendiri pada batu nisan, ia selalu berharap ibunya mendengar dan merasa senang saat ia berkunjung kesana.

Langkah kaki membawanya kembali ke tempat Dimana ia dan Heisan berhenti tadi.

****

"Lo, sejak kecil tinggal di Bandung?" Tanya Heisan memulai percakapan lalu ia kembali menyeruput kopi instan di botolnya, sepulang dari TPU tadi, mereka berhenti di sebuah warung yang tak jauh dari pemakaman, lalu duduk di bangku yang sudah disediakan.

"Aku lahir di Jakarta, dan karena ibu aku meninggal, ayah mutusin supaya aku sama kak Harun tinggal sama nenek," ujar Hailana.

"Kakak lo?"

"Iya, aku sama dia beda 6 tahun, sekarang dia sama Ayah lagi ngurusin pabrik yang ada di Yogyakarta," ujar Hailana kembali.

Heisan yang mendengar jawaban Hailana menanggapinya dengan anggukan, "kamu sendiri, kenapa lanjutin SMA di sini?" Tanya Hailana.

"Gue suka Bandung," jawab Heisan singkat, dan itu saja tak cukup bagi pemikiran Hailana yang memang butuh penjelasan lebih.

"Segampang itu? Orang tua, setuju?"

"Ya kalau mereka gak setuju gak mungkinlah biarin gue sekolah disini," ucap Heisan sedikit mendelik.  "Ini juga karena ada keluarga Zaskia, makannya orang tua setuju, tadinya sih mau ngekost, cuman mereka gak nyetujuin kalo gue gak tinggal sama Tante Uus," lanjut Heisan, kali ini lebih panjang.

"Padahal aku suka sama kota Yogyakarta, dulu juga pas mau SMA aku ngeyel mau pindah ke Yogja ikut ayah sama kak Harun, tapi kata mereka masa ia sih harus ninggalin nenek sendirian," jelas Hailana.

"Semua orang punya kesukaannya masing-masing," balas Heisan.

"Mau sampai kapan tinggal di Bandung?" Tanya Hailana kini ia menatap Heisan yang sedari tadi duduk di sebelahnya.

Heisan mengendikkan bahunya, "gatau, lulus, mungkin," ucapnya.

"SMA?" Tanya Hailana masih setia menatap Heisan yang tak balik menatapnya.

Heisan yang kesal dengan pertanyaan Hailana langsung menatapnya lalu tangannya meraih kepala Hailana bagian atas lalu mengacak-ngacak ya, sambil berucap "iyalah masa lulus SD," Lalu Heisan berdiri dan menghampiri pemilik warung untuk membayarnya.

Hailana (Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang