Di Pasar

15 4 11
                                    

Hailana segera masuk ke dalam pasar, tempat neneknya membeli kain memang berada di tengah, untuk itu Hailana harus berusaha melewati puluhan ruko, atau bahkan ratusan, ah, tidak tahu, Hailana tak pernah menghitungnya.

Sesekali ia berdecak, mengapa neneknya selalu ingin membeli kain disana, padahal ada yang lebih praktis di toko kain khusus yang di desain semacam butik, tokonya juga higienis, tak harus melewati tempat sayuran, daging, ikan, ikan asin. Ya, itu memang pasar aneh, toko kain dengan toko makanan bisa saja bersebelahan, belum lagi jalanan yang cukup becek, Hailana bukannya tak suka, hanya saja ia heran mengapa neneknya sangat senang berbelanja disini daripada di tempat lain.

Ditengah perjalanan menuju pasar Hailana terfokus pada secarik kertas yang Ihat berikan sebelum ia berangkat dari rumah tadi, "Kain, Benang, jarum, resleting, jarum pentul, kert--duuuh!" Hailana mengaduh saat tubuh bagian depannya menubruk sesuatu didepan sana, menyadari kertasnya jatuh Hailana langsung berjongkok untuk mengambilnya, matanya tak sengaja melihat sepasang kaki yang terlihat menyamping darinya, lalu ia terkesiap saat kaki itu berubah posisi jadi menghadap padanya.

"Sorry, bisa gue bantu?" Tanya nya sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Hailana berjongkok, namun setelah itu Hailana buru-buru berdiri.

"Ehm-- gausah," ucap Hailana lalu berdiri, tatapannya masih terus memandang pada sepatu yang dikenakan pria di depannya saat ini. "Makasih," ucap Hailana sedikit memberi senyum tipis, kini tatapannya beralih pada pria itu.

"Sorry, Lo jadi nubruk gara-gara gue berdiri di tengah jalan gini," ucap pria itu sopan, Hailana suka pria seperti itu.

"Gapapa," lagi-lagi Hailana tersenyum tipis, "Mari," lanjut Hailana sedikit menganggukkan kepalanya sopan, setelah itu Hailana segera menghindar dan lebih memilih terus berjalan, tapi sebelum benar-benar pergi Hailana kembali menoleh pada alas kaki yang dikenakan pria yang baru saja ia tabrak itu.

****

Hailana sedikit melihat-lihat kain yang terpampang rapih di toko langganan neneknya ini, sambil sesekali merabanya karena penasaran pada teksturnya.

"Ih ini lucu nih motifnya," gumam Hailana pelan, namun pelannya suara Hailana, pelayan yang sedang membereskan gundukan kain tetap bisa menjawabnya.

"Iya neng, itu bagus, buat bawahan kebaya," ucapnya tanpa berhenti beraktivitas.

Hailana hanya tersenyum sopan mendengar hal itu, benar, dia ingin memakai kebaya dihari pemilihan nanti, sekali ini saja ia ingin terlihat sedikit berbeda dengan berpenampilan dari biasanya, karena setiap kandidat juga diperbolehkan memakai pakaian ciri khas nya saat pemilihan nanti.

"Tumben bukan ni Ihat yang kesini, neng," ucapnya kembali.

"Nenek? Di rumah lagi banyak yang minta jahit baju, mungkin gak keburu." Jelas Hailana yang langsung dibalas anggukan  oleh pelayan itu.

Hailana kembali mendekat pada pelayan yang pertama, ia tengah menghitung jumlah belanjaan yang berada di list belanjaan Hailana.

"Ini neng, jumlahnya ada disana," ucap pelayan yang sudah selesai menyiapkan apa yang Hailana pesan dan selesai menghitung jumlah keseluruhan.

"Iya udah," Hailana menyamakan kembali bukti pembelanjaan dengan list yang ia bawa dari rumah, lalu ia mengeluarkan beberapa lembar seratus ribuan.

"Nih neng kembaliannya, makasih," ucap pelayan itu sopan.

"Yaudah teh, aku duluan ya," pamit Hailana lalu segera mengangkat dua kantong keresek besar berwarna hitam yang berisi pesanannya.

"Salam ya, buat nenek kamu," ucap pelayan yang tadi melayani Hailana.

Hailana (Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang