sembilan belas

1.3K 123 6
                                    

"Bolehkah aku menciummu untuk yang terakhir, sebelum kau jadi milik orang lain, Nami?"
.
.
.
.
.

Namira terdiam.

Menatap Yoongi yang masih menyentuh pipinya. Merasakan luka dan sesal yang coba diungkapkan oleh pria yang berdiri berhadapan dengannya saat ini.

Rasanya ia ingin langsung mengangguk mengiyakan kalau saja Namira tak segera sadar akan sesuatu.

Kemudian ia tersenyum, berusaha menekan gejolak yang sama dengan yang dirasakan pemuda itu. "Maaf...aku tak bisa Yoongi, aku tak bisa mengizinkanmu melakukan itu lagi, kau sudah menikah. Jika aku mengizinkanmu melakukannya, lalu apa bedanya aku dengan Adora. Maafkan aku." ucap Namira sebelum menyentuh tangan Yoongi dan menurunkannnya dari wajahnya.

"Aku titip Adora padamu, tolong bahagiakan dia."

"Kau terlalu naif Namira, bahkan setelah semua yang terjadi padamu kau masih memikirkannya. Kau terlalu ingin disebut malaikat, begitukah?"

Namira menggeleng pelan.

"Sebelum ibunya meninggal waktu itu." ia menatap menerawang dalam kegelapan lift itu "Bibi berpesan agar aku selalu melindunginya, bersikap baik padanya dan menjaganya."

"Pesan terakhir bibi tak akan pernah aku abaikan Yoon, Adora tak pernah bahagia dalam hidupnya, karena itulah ia selalu iri melihatku."

"Jadi, peristiwa itu kau tau semuanya?"

Namira mengangguk berat. "Wuujin menceritakam segalanya sehari sebelum ia mengakhiri hidupnya."

"Jika saja, jika saja aku membiarkan dia melaporkan dirinya ke kantor polisi dan membiarkan dirinya berakhir di penjara, mungkin hari ini aku masih bisa melihatnya. Mungkin kita tak akan pernah bertemu dan saling mengenal."

"Semua hal sudah terjadi Yoon, mungkin takdirnya memang harus berjalan seperti ini, jadi aku akan berusaha menerimanya."

Yoongi menunduk.

Berusaha mencerna semua yang dikatakan Namira. Ini bukan takdir, hanya kesalahannya yang tak pernah belajar menyukuri apapun.

Air mata menetes dari sudut matanya "Kau mungkin benar Nami, maafkan aku." lirihnya berusaha mengerti.

Mungkin setelah ini ia harus berlajar lebih banyak menerima seperti Namira. Menerima dan mensyukuri segalanya.

Mungkin ia tak seharusnya menyalahkan Adora, jika Namira saja bisa memaafkannya dengan ikhlas, maka haknya dia membenci wanita itu. Apalagi Adora telah mengandung anaknya.

"Ah, akhirnya Yoon." Namira berseru riang.

Yoongi tersadar dari lamunannya kemudian tersenyum tipis ke arah wanita di sampingnya.

Perlahan pintu lift terbuka.

"Tuan, nyonya maafkan kami, maaf atas ketidak nyamanan yang kami perbuat. Apakah kalian tidak apa-apa?" tanya salah seorang petugas sambil terbungkuk-bungkuk.

"Tidak. Kami tak apa-apa, jangan terlalu difikirkan, hal-hal seperti ini memang bisa saja terjadi ini bukan salah kalian."

Yoongi menatap Namira yang selalu bijaksana dalam menghadapi setiap keadaan. Padahal baru beberapa waktu lalu di gemetar ketakutan. Tak dapat Yoongi bayangkan apa yang akan terjadi pada wanita itu jika ia di sana seorang diri. Atau jika yang bersamanya bukanlah dia, melainkan orang lain.

Tapi bagaimana bisa hatinya langsung luluh kala melihat karyawan hotel yang menampakan raut wajah penyesalan.

Sekali lagi Yoongi menyesal telah mencampakkanny begitu kasar.

I CAN'TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang