The Command

2.5K 327 52
                                    

"Enak gak?" Yeosang menatap penuh harap temannya itu. Ia penasaran bagaimana respon Seonghwa terhadap bekal dari seseorang itu.

Seonghwa mengunyah perlahan, mengingat-ingat rasa daging yang menyapa lidahnya. "Kayak rasa daging panggang dari restoran seberang taman kota," ucap Seonghwa ragu. "Seumur-umur gua baru sekali ke sana. Itu juga dibayarin kakaknya Yunho dulu."

"Ah, lu ngayal kali," sela Yunho. "Cobain sini," ia mengambil sepotong daging. Matanya melebar, "iya ya? Ini yang ngasih siapa sih? Penasaran gua. Boleh gua gebet nih." Ucapannya mengundang Yeosang untuk memukul tengkuknya.

"Iya kan? Restoran itu khas banget bumbunya," balas Seonghwa. "Mana sih mana? Sini gua cobain," Wooyoung menyela. "Gua belum pernah ke sana sekali pun. Kata orang-orang, rasanya enak tapi harganya gak enak," ia mengambil sumpit di tangan Yunho dan menyuapkan sepotong daging ke mulutnya. Matanya seketika bertabur bintang. Sebuah senyum terukir lebar, "gila sih... enak banget."

"Seonghwa, kamu dijemput."

Mereka berempat menoleh ke pintu kelas. Seorang guru melongok ke dalam dengan ponsel di telinganya. "Kamu tadi sudah dijemput oleh saudara kamu. Cepat, kemas barang-barangmu," ucapnya tegas.

Seonghwa dengan cekatan mengemas barangnya dan berjalan keluar. "Dadah kalian para induk cabe..." Seonghwa melambaikan tangannya pada ketiga temannya sambil tertawa.

"Tiati di jalan, Hwaa..."

"Bekalnya buat gua yaa.."

"Bawain pacar baru buat gua!"

"YUNHO!" Seonghwa menoleh. "Sudah gila..." ucapnya sambil tertawa. Berat baginya meninggalkan teman-temannya di saat sedang asyik bercengkrama.

Namun pada akhirnya, perintah adalah perintah. Harus dipatuhi, mau atau tidak.

●●●●

Seonghwa menginjakkan kakinya keluar pintu mobil yang membawanya kemari, ke tempat kerja kakak sepupunya. Ia berjalan berdampingan bersama penjemputnya menuju sebuah gedung terletak tak terlalu jauh dari mereka.

"Tadi gimana ceritanya bisa jemput aku, kak? Biasanya guru-guru di sana kenalnya Kak Jeonghan," buka Seonghwa.

"Mereka gak percaya kan kalo kakak ngakunya saudara kamu, ya udah abis itu kakak disuruh telepon Kak Jeonghan sama mereka. Singkat cerita gitu lah," jawabnya singkat.

"Aku kan ditanya sama guru aku, kakak tuh siapa, aku ngaku kalau kakak om aku," ucap Seonghwa polos. "Secara fisik, Kak Mingi udah pantes jadi om-om."

"Kurang ajar," Mingi meninju pelan bahu Seonghwa. "Untung kamu adik sepupu atasan kakak. Kalo nggak, udah kakak tembak kamu." Tawa mereka mengudara.

Tepat ketika mereka menginjakkan kaki di gedung itu, tak biasanya mereka dicegat oleh penjaga pintu. "Maaf, pak. Ada kartu identitasnya?" ucapnya sopan sekaligus mengintimidasi.

"Lah. Anda tidak tahu saya rupanya?" Seonghwa menyiku Mingi, "apaan sih, kak? Udah kasih aja."

"Maaf, pak. Kalau tidak ada kartu identitas, Anda tidak diperbolehkan masuk kemari," ucap petugas. "Bapak silakan meninggalkan tempat ini."

"Lho, kamu kok ngusir sih? Kamu memang gak tahu saya rupanya, ya."

"Bila bapak masih melawan, saya punya hak untuk mengusir bapak secara paksa."

"Ini, pak. Ini kartu identitas saya," sela Seonghwa. Entah kapan ia mengambil kartunya dari dalam tasnya. "Baik, ini kartu Anda. Silakan masuk," ucap penjaga itu sambil mengembalikan kartu Seonghwa.

AmmoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang