Baca ini dulu sebelum lanjut ke sekuel ya, samyang-samyangkuuu~
●●●●●●●●●●●●●●●●●●
"Hahh!"
Kakinya sudah tidak sanggup menahan bobot tubuhnya. Tubuhnya terjatuh begitu saja di atas tanah. Ia menggeser tubuhnya, menyandarkannya di depan pohon.
Glek..
Glek..Haahh..
"Sial, habis... sedari tadi juga gak ada sungai..."
Seonghwa mengembuskan napasnya kasar. Keringat bercucuran dari dahi mulusnya. Sudah empat hari ia berjalan dari terminal terakhir busnya. Uangnya masih ada untuk membeli air, tapi di tengah belantara seperti ini, siapa yang menjual air?
Ia mendecih lalu melanjutkan jalannya. Entah ke mana tujuannya, ia hanya membiarkan kakinya menuntun jalannya. Mungkin ia juga akan mati cepat atau lambat. Belatinya ia gunakan untuk menyingkirkan semak-semak yang menghalangi jalannya. Setidaknya, ia masih bisa bernapas untuk sekarang.
Matahari berganti bulan, awan putih berganti bintang gemerlapan. Kedua tungkai Seonghwa mulai gemetar. Pandangannya mulai berbayang. Kepalanya berdenyut berat. Napasnya memanas dan memberat. Tiga hari sudah berlalu.
Bruk!
Napasnya makin memberat. Tubuhnya mati rasa ketika ia membentur tanah. Ia tidak kuat.
"Hhh... s-sial..."
Desingan serangga yang terbang di atas tubuhnya diabaikannya. Dunianya memudar. Mungkin Seonghwa akan menjemput ajalnya, cepat atau lambat. Organ dalamnya meraung meminta air.
"Tuan??"
Suara langkah kaki yang mendekat padanya mulai memelan sedikit-sedikit. Pusing. Pandangannya memburam.
Seonghwa merasa tengkuknya diangkat dan kedua pipinya ditepuk-tepuk pelan, tetapi kelopak matanya terlalu berat. Kepalanya terlalu pusing.
"Tuan, bertahanlah! Kita ke desa terdekat!"
'Desa?' batin Seonghwa sambil berusaha memperjelas penglihatannya yang tak seberapa itu.
Gelap. Ia tidak melihat apa pun lagi.
•••••
"Yunho-ah... kakak mau pergi keluar. Ada mau titip?"
"Obat seperti biasa saja, kak."
"Alright. Jaga diri di rumah."
"Oke."
Cklek.
Pintu tertutup.
Yunho mengecek ponselnya, melihat perkembangan wabah yang melanda kotanya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ammo
FanfictionKetika dunia tidak lagi sestabil dahulu kala, ketika para elit negara memainkan monopolinya, kegelapan seolah menyelimuti bumi. Cahaya seredup apapun akan diburu untuk dipadamkan. Di dunia yang tidak lagi memiliki harapan, aku hanya ingin menjadi ca...