D - Day

1.3K 217 29
                                    

Langkah kakinya bergema di lorong itu. Masih dengan pakaian olahraganya, Jeonghan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan adiknya. Sudut matanya menangkap sesosok lelaki dibalik kaca ruang latihan menembak. Dari posturnya saja, ia bisa tebak itu siapa. Ia kemudian memasuki ruangan itu lalu menyandarkan tubuhnya di tembok tak jauh dari sosok itu. Tepat ketika ia melepas earmuffnya, ia menoleh pada Jeonghan, "hai, kak.."

"Latihan dari jam berapa, Gi?"

"Belum lama," Mingi beranjak dari sana lalu menyimpan pistolnya di atas sebuah meja dekat sana. Jeonghan tersenyum miring, "omong-omong, lo udah ketemu Jongho kemarin malam?"

"Sudah," Mingi mendekati Jeonghan. "Dia banyak cerita. Lo mau bergerak sekarang, kak?"

"Ya. Udah sarapan belum lo?" Mingi menggeleng, merespon pertanyaan atasannya. "Ayo sarapan. Jangan tiba-tiba pingsan, gak lucu."

Mereka berdua keluar dari ruangan latihan itu, menuju kantin markas besar mereka. Tidak terlalu jauh letaknya dari ruangan itu.

Di sisi lain, Seonghwa mengunyah nasinya dengan lemas. Pikirannya berkecamuk. Kaldu sup ayamnya terasa hambar. Terlalu banyak informasi, terlalu membebaninya.

Lalu pipinya bersemu merah muda saat ia teringat sosok Kim Hongjoong. Saat ia dengan baiknya mengobati luka Seonghwa dan mengantarnya kembali ke klab walaupun kakinya sakit. Aih, sepertinya Seonghwa tertarik.

Tapi kembali lagi kecamuk spekulasi yang ia punya mengganggu khayalnya. Entah Seonghwa yang terlalu skeptis atau bagaimana, ia juga bingung.

Brak!

"Bebek!" Seonghwa membelalakkan matanya lalu mengusap dadanya.

"Pulang jam berapa kemarin?"

"Kakak apaan siiiih," Seonghwa mencebik. "Sekitar jam tiga mungkin?"

"Hm. Terus tanganmu kenapa?" cecar Jeonghan. Tangannya masih menumpu di meja makan.

Ah, sepertinya Seonghwa salah pakaian. Seharusnya ia tidak memakai kaus tanpa lengan seperti sekarang. Ia tidak mungkin memberitahu kakaknya kalau ia tertembak tadi malam?

"Jatuh, kak."

"Dari?"

"Kesandung pas lagi jalan. Terus pas jatuh keserempet aspal. Makanya lukanya diperban, agak gede soalnya."

"Ada-ada aja kamu..." Jeonghan memutar matanya, tersenyum miring. "Terus tadi ngapain bengong? Kakak panggilin tiga kali gak kedengeran emang?"

"Hah?"

"Biasa kak, namanya juga remaja," Mingi menginterupsi. Ia membawa dua nampan lalu duduk di depan Seonghwa. "Lagi berbunga-bunga..."

"Ahhh, begitu..." Jeonghan mengulum senyumnya lalu duduk di samping Mingi. "Makanmu gak nafsu, mikirnya ke dia terus kan?"

"Oh jelas itu, kak..." Mingi memanas-manasi. "Dia bagai bintang kejora di hati Seonghwa, EAAAAAKKK"

"NGGAK IH!!" wajah Seonghwa memerah sempurna. "Cuma... ya... nggak sampai sukaaaaa... cuma... euuhh... ganteng gituuuu... udaahhh.."

"Iya, pangeran tertampan buat Seonghwa kan?" tambah Jeonghan. "Siapa sih dia? Kakak kepo."

"Nggaaaaaakkk!"

"Halaah, kamu gak akan bisa boong ke kakak," Jeonghan tersenyum miring. "Kakak juga pernah seumur kamu. Pernah naksir saat pandangan pertama."

"Udahan ih, kak... Seonghwa maluu," Seonghwa menangkup kedua pipinya yang sudah panas. Jeonghan tertawa renyah, "ya udah, asal gak ngelupain tugas dan tanggung jawab. Ingat, bebanmu lebih berat dari remaja seumuranmu pada umumnya."

AmmoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang