Maafkan akan typo yang bertebaran....
Sudah lebih dari seminggu Hakyung pulang kerumah. Jimin senantiasa merawat Hakyung dan tidak pernah mengeluh.
Keduanya kini tengah berjalan jalan di sekitaran rumah, suasana senja nampak pas dibulan januari sekarang. Hakyung tidak melepaskan genggaman tangannya dengan Jimin.
"Bagaimana dengan kabar Soojin?" Celetuk Hakyung membuat Jimin menghentikan langkahnya.
"Kenapa kau menanyakannya?" Tanya Jimin balik. Hakyung mengerjapkan mata berkali-kali. "Memangnya kenapa? Aku hanya bertanya." Jawab Hakyung dengan polosnya.
Jimin menghela nafas. "Aku tidak tahu" Itu jawaban jujur Jimin.
Keduanya kembali diam. Angin senja menerpa beberapa helai surai Hakyung, sehingga Jimin berinisiatif untuk membenahinya.
"Bukankah ada yang kurang?" Pertanyaan yang Jimin lontarkan membuatnya menolehkan kepala.
"Iya, ada yang kurang. Aku ingin sekali melihat anak kecil bermain diantara kaki kita, Kyung-a." Kini Jimin berdiri tepat dihadapannya.
Senyum Hakyung mengembang, ia memeluk Jimin pada akhirnya.
"Kalau begitu ayo kita realisasikan." Celetuk membuat Jimin membulatkan mata.
.....
Jimin sudah berada diatas Hakyung sekarang. Ya, mereka sudah dirumah sejak 1 jam yang lalu. Peluh membasahi tubuh mereka masing-masing. Hakyung telihat memejamkan mata dan berkali-kali mengambil nafas. Jimin kelewat brutal saat melakukannya. Wajar, karena setiap mereka ingin melakukan itu ada saja gangguannya. Mulai dari sepupu Jimin yang menginap, atau bahkan pernah kedua orang tua Jimin menginap dirumah.
Jimin kembali menyatukannya, mempertemukan miliknya dengan liang nikmat milik Hakyung. Hakyung dapat merasakan milik Jimin yang mulai kembali memenuhinya. Suara kecapan kedua birahi itu memenuhi kamar bernuasa hitam putih itu. Bahkan tangan Jimin tidak tinggal diam, bergeriliya diantara dua gundukan kenyal itu. Pergerakan Jimin semakin menjadi kala ia dan Hakyung mencapai titik pelepasan.
Deru nafas keduanya terdengar cukup keras. Hakyung dan Jimin saling pandang. Jimin mengecup pelan dahi Hakyung.
"Aku senang." Ujarnya. Hakyung tersenyum. Mereka berpelukan tanpa melepaskan tautan satu samalain. "Ayo lanjutkan lagi." Hakyung melebarkan mata.
"Aaaaaa.... Jimin.... Aku lelah, eoh." Ucap Hakyung melepaskan pelukan.
"Ayolah, Kyung-a.." Suara manja Jimin membuatnya bergidik ngeri.
Helaan nafas Hakyung terdengar. "Baiklah, satu kali saja, karena aku benar-benar sudah lelah, Jim." Senyum terpatri dibibir Jimin.
Lagi dan lagi, Jimin bergerak disana hingga Hakyung mengeluh sakit sekaligus mendesah nikmat. Kecapan demi kecapan membuat suasana panas itu mengalir dengan sendirinya.
Hingga esok pun sudah memancarkan cahaya yang menggairahkan tubuh untuk beraktivitas. Hakyung masih enggan beranjak dari ranjang. Ia melihat sisinya sudah kosong, dan mendengar gemricik air dari dalam kamar mandi. Tak berselang lama, suara itu tidak ada dan Jimin terlihat keluar dari kamar mandi. Pria itu hanya mengenakan handuk sampai batas pinggang. Dan terlihat tengah mengeringkan surai yang basah.
"Kau sudah bangun?" Tanya Jimin berjalan dan duduk disisi ranjang.
Hakyung menganggukkan kepala. Jimin tersenyum, lantas meraih tangan Hakyung.
"Terimakasih." Ucapnya. Hakyung menganggukkan kepala kembali dan tersenyum. "Sama-sama." Jawab Hakyung tulus.
Pukul 9 pagi, Jimin dan Hakyung berangkat ke rumah sakit untuk mengontrol luka yang ada di perutnya. Sesampainya di rumah sakit, Hakyung dan Jimin langsung menemui Seokjin.
........
"Kenapa lukanya kembali menganga, Hakyung-ssi?" Selidik Seokjin. "Kalian baru saja melakukan apa?" Lanjutnya lagi.
Tidak ada yang menjawab. Seokjin lantas menghela nafas pelan.
"Bukankah aku sudah bilang? Perhatikan saat melakukan itu, Jim. Kau tidak kasihan dengan istrimu yang harus kembali dijahit?" Seokjin kembali membius area luka Hakyung, guna mengurangi rasa sakit saat ia akan menutup luka Hakyung.
"Maaf Hyung." Jawab Jimin kelewat lirih.
Tak berselang lama, Seokjin selesai melakukan tindakan pada luka Hakyung. Dan membiarkan wanita itu tetap di atas brakar.
"Lainkali, perhatikan. Jangan mengejar kenikmatannya saja. Sudah, ini obatnya bisa kau tebus di apotek. Untuk seminggu ini, biarkan Hakyung dirumah. Ia harus istirahat dulu. Aku tidak ingin lukanya kembali terbuka." Tutur Seokjin menjelaskan.
Setelah dari rumah sakit, Jimin sengaja membawa Hakyung kekantor. Karena ia tidak yakin akan meninggalkan Hakyung dirumah sendiri. Suami yang teladan.
"Maafkan aku." Ujar Jimin setelah menutup pintu ruangannya. Hakyung tersenyum. "Tidak apa-apa, aku juga yang salah." Hakyung masih duduk di kursi rodanya. Sebab, jahitannya masih basah. Itu tidak mengijinkannya untuk berjalan.
Tak berselang lama, sekretaris Jimin masuk dan memberikan beberapa berkas yang harus Jimin tanda tangani.
"Maaf, Daepyo-nim. Nona Soojin kemari, beliau menunggu di ruang tunggu. Apakah beliau boleh masuk?" Sang sekretaris buka suara. Jimin melirik Hakyung, wanita itu hanya diam. "Pintalah dia untuk pulang. Katakan aku sedang bersama istriku." Jawab Jimin bijak.
Pria itu menganggukkan kepala dan segera keluar dari ruangan Jimin. Hakyung menatap Jimin yang mengehela nafas cukup kasar. Ia bergerak dan meraih tangan pria itu. Jimin menoleh menatap Hakyung yang duduk di kursi roda. Hatinya kembali tenang kala wanita itu mengusap pelan punggung tangannya.
Sampai sini aja dulu......
KAMU SEDANG MEMBACA
Hologram [호로그람] || Ji-Hope Fanfiction(Belum Revisi) || LENGKAP
Fanfiction(LENGKAP) Bagaimana jika perjodohan yang kau jalani adalah permintaan pria itu sendiri melalui kedua orangtuanya Dan bagaimana jika orang di masalalumu adalah salah satu kerabatnya? Dan bagaimana pula jika kau sudah dikenal oleh pria itu melalui m...