04. T

849 98 2
                                    

Yoongi lagi-lagi menangis dan mengeluh pada mendiang Ayahnya. Padahal, ia tahu bahwa Ayahnya kini tidak bisa apa-apa. Hal yang bisa dilakukan Yoongi hanya memandangi nisan sang ayah dengan menahan kepedihan di hatinya.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ayah. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana perasaanku terhadapnya."

"Hanya saja, aku takut jika aku benar-benar jatuh cinta padanya. Mungkin, aku tidak pantas dicintai gadis sepertinya."

Pria itu mengulum bibir hingga menyeringai. "Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Ah, andai saja Ayah masih ada, aku akan banyak cerita soal ini pada Ayah. Tidak ada yang bisa membuatku tenang ketika diajak cerita selain Ibu."

"Ibu memang satu-satunya yang paling terbaik." Kemudian, Yoongi tersenyum. "Iya, tidak ada yang bisa mengalahkan perempuanmu, Ayah."

Yoongi mengeluarkan sebuah bucket bunga dan menaruhnya di atas makam sang ayah. "Aku sampai iri, Ayah bisa menemukan dan berhasil memiliki perempuan seperti Ibu."

"Andai saja aku bisa menikahi gadis seperti Ibu, mungkin aku termasuk lelaki yang beruntung."

Sejemang, Yoongi merebahkan kepalanya di atas nisan itu. Dia sangat merindukan sosok Ayahnya yang selalu menggendongnya setiap pulang bekerja. Yoongi ingat, sebagaimana dulu tubuh kecilnya diangkat dan dibawa berputar-putar layaknya kapal terbang.

♛┈⛧┈┈•༶

Ayah, aku ingin naik pesawat. Apa itu rasanya menyenangkan?

Ah, jadi tunggu aku dewasa dulu baru boleh naik pesawat bersama Ayah dan Ibu, ya?

Baiklah, Yoongi akan tunggu sampai Yoongi dewasa.

Ayah jangan ke mana-mana sebelum Yoongi dewasa, ya.

Dan jawaban mereka selalu sama. "Iya, Yoon. Ayah dan Ibu selalu menunggu sampai Yoongi dewasa. Kita bisa pergi bersama, ya."

♛┈⛧┈┈•༶

Jawabannya selalu begitu yang sangat Yoongi ingat dari mulut mereka. Jawaban yang membuatnya menyesal, sebab tak ada kebenaran di sana. Takdir berbohong pada dirinya.

Sang ayah meninggalkannya lebih dulu. Padahal, ia belum sempat merasakan naik pesawat seperti yang Ayahnya janjikan.

"Ayah, kau..."

Yoongi tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Namun, ia memaksakan. "Kau berbohong padaku."

Yoongi kembali menangis. Tidak puas rasanya jika hanya menangis sekali setiap ia datang ke makam ini.

Ia mengacak-acak rambutnya dengan sedikit kasar. "Seharusnya, jangan mengatakan begitu kalau akhirnya Ayah tidak bisa menepati janji."

"Tapi, ya sudahlah. Bukan saatnya aku menyesali apa yang sudah terjadi."

Seketika, ia melirik jam tangan berwarna silver yang menunjukkan pukul satu malam. Kemudian, Yoongi kembali mengusap nisan itu.

"Ayah, ini sudah larut. Aku khawatir jika Ibu menungguku di rumah. Dia lelah, aku tahu. Kalau begitu, aku harus pamit."

Yoongi bangkit dari posisi duduknya. "Selamat tinggal, Ayah."

Dengan berat hati, Yoongi segera meninggalkan pemakaman itu. Sebetulnya, Yoongi masih ingin banyak bercerita pada Ayahnya.

Entahlah, Yoongi nyaman saja menyendiri di sana. Pasti sangat jarang ada orang mau mampir ke makam selarut ini. Yoongi sengaja, sebab ia lebih suka pergi ke makam Ayahnya hampir tengah malam, agar tidak ada orang yang mengunjungi atau memperhatikan dirinya yang selalu curhat di sana. Bisa-bisa, Yoongi disangka orang gila berbicara sendiri.

How To Be Your Girlfriend? [REVISI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang