Aliza tak bisa berlama-lama tinggal di rumah Abdul. Ia memiliki banyak pekerjaan yang harus selesai tepat waktu. Belum lagi penandatangan kontrak yang tak bisa di wakili oleh siapa pun membuatnya harus pulang lebih cepat. Rencananya Aliza akan pulang bersama Abdul akan tetapi Abdul tidak bisa pulang bersamanya dari batas waktu yang telah disepakati. Abdul masih ingin tinggal untuk menemani istrinya guna menghadiri acara perpisahan Adinda yang akan digelar beberapa hari lagi.
Sore ini Aliza pulang pamit untuk pulang. Ia pamit kepada keluarga Abdul yang berdiri di depan rumah. Ia juga kembali mengenakan daster yang baru ia beli kemarin. Kenapa daster? Karena Aliza tak membawa pakaian yang sopan saat hendak memutuskan berkunjung ke kampung Abdul untuk menghadiri pesta pernikahan anaknya. Dan ia juga tak berencana untuk menginap. Ia tak terlalu yakin untuk memakai pakaian yang ia bawah. Ia tak ingin terlihat terlalu mencolok di tengah-tengah keluarga Abdul. Istri dan kedua anak Abdul mengenakan jilbab dan pakaian yang sopan. Sedangkan pakaian yang ada di mobilnya terkesan terbuka dan sangat ketat. Jadi, niatnya untuk mengenakan pakaian miliknya harus ia urungkan. Makanya, ia memutuskan untuk mengenakan daster pemberian Puput ketimbang pakaiannya sendiri.
Cukup pakaian ketatnya ia kenakan saat malam pertama menginap di rumah Abdul.
Meski begitu, Aliza nyaman dengan daster yang ia kenakan. Ia makin terlihat dewasa dan manis. Tak bisa di pungkiri kecantikannya semakin kuat.
Perpisahan Aliza dan keluarga Abdul berkesan haru. Adinda yang baru dekat dengan Aliza merasa sangat sedih akan kepergian Aliza yang tiba-tiba memutuskan untuk pulang ke kota. Adinda merasa sedih tak sempat mengajak Aliza jalan-jalan keliling desa seperti yang ia rencanakan. Adinda bahkan tak kuat untuk menatap Aliza yang sedang berbincang dengan Mina dan Abdul. Adinda hanya tertunduk tak kuasa menahan bendungan air matanya.
"Masakan ibu sangat enak, rasanya tak ingin pulang," kata Aliza memuji masakan Mina yang terkenal pandai dalam soal memasak. "Kalau boleh, saya ingin dibawakan rendang buatan ibu saat pak Abdul pulang," sambung Aliza dengan jujur.
"Wah, tidak menyangka lidah nona bisa menyukai masakan saya. Melihat porsi makanan nona tadi sempat membuat hati saya sedikit sedih. Setelah mendengar nona memuji begini, rasanya saya sangat senang," Kata Mina dengan semangat. "Saya janji akan buatkan rendang yang banyak untuk, nona. Wah, entah kenapa saya jadi lebih bersemangat sekarang. Saya sangat bersyukur dan mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas pujian nona untuk masakan saya." Lanjut Mina tak kalah semangat.
Abdul juga terlihat senang atas apa yang di katakan Aliza untuk memuji masakan istrinya. "Terima kasih banyak, nona. Terima kasih," tambah Abdul senang.
Aliza mengukir senyuman lebar di wajahnya. "Saya hanya ingin mengatakan yang sebenarnya. Masalah porsi makanan saya memang sudah seperti itu dari dulu. Saya harap bapak dan ibu bisa mengerti dan tidak terlalu memikirkannya. Dan, rendangnya akan selalu saya nantikan." Jelas Aliza sembari tersenyum manis.
Setelah berbincang hangat dan melepaskan pelukan hangat sebagai tanda perpisahan dengan Mina dan Abdul sang nona pun bersalaman hangat dengan Puput sambil melemparkan senyuman ramahnya. Ia tak sungkan untuk memeluk Puput. Ia mendekap Puput sehingga membuat Puput sedikit terkejut dengan sikap ramah sang nona. Menurutnya, ini terlalu berlebihan untuk anak seorang sopir. Setelah melepaskan pelukan hangatnya dari Puput Aliza juga menyalami suami Puput sedang berdiri tegap menunggu tangan Aliza di ulurkan untuk menyalaminya. Namun, kejadian tak terduga membuat Mina dan Abdul tak enak hati kepada nona. Kenapa mereka tak enak hati?
Tasbih, suami Puput adalah seorang guru agama yang mengajar di sekolah menengah pertama. Sekaligus menjadi ustadz yang mengajari siswanya untuk mengaji jika mereka ingin. Tasbih orang yang cukup taat dengan agama. Menikahi Puput saja ia lakukan dengan cepat karena takut kedekatannya dengan Puput menjadi zina. Lewat ta'ruf ia memberanikan diri untuk menikahi Puput yang ia kenal sejak masih duduk di bangku SMA yang sama dengannya.
Ketika tangan Aliza terulur untuk menyalami Tasbih, suasana menjadi sedikit canggung. Pasalnya, Aliza berniat untuk menyalami Tasbih seperti yang lainnya. Tau-taunya Tasbih tak berani menyentuh tangan Aliza yang bukan muhrimnya. Ia menggunakan cara sebagai seorang muslim yang benar. Tasbih mengatupkan kedua tangannya untuk menyambut uluran tangan Aliza yang lembut. Sembari tersenyum tipis Tasbih tak sadar telah membuat sang nona malu dibalik senyumannya yang merekah.
Sementara itu, Mina dan Abdul lebih tak kuasa menahan malu. Mereka juga tak menyalahkan menantu mereka. Mereka paham akan apa yang dilakukan Tasbih. Sudah seharusnya Tasbih melakukannya sebagai seorang lelaki yang bukan mahromnya. Aliza tidak terlalu mempermasalahkan sikap suami Puput. Ia sadar sudah semestinya Tasbih bersikap seperti ini. Dengan senyuman yang merekah lebar Aliza mengatupkan kedua tangan mengikuti cara Tasbih untuk bersalaman dengannya.
Tiba waktunya ia berhadapan dengan Adinda yang masih tertunduk sedih. Adinda tak menyadari kehadiran Aliza di hadapannya.
"Nak, nona ingin pamit. Tidak sopan kalau kamu harus tunduk mengabaikannya." Tegur Mina kepada Adinda.
Aliza juga tak mengerti kenapa sikap Adinda seperti ini. Mengabaikannya. Dengan senang hati ia mengulurkan tangan kanannya untuk menyentuh dagu Adinda dan membuatnya bangun dari tunduknya. Seketika air mata mengucur deras dari mata Adinda. Reflek Adinda langsung memeluk Aliza. Ia memeluk Aliza dalam linangan air mata. Kesedihan Adinda membuat Aliza bingung. Kenapa sikap Adinda bisa seperti ini? Kenapa Adinda menangis melihatku pamit? Dengan berbagai macam pertanyaan menyerbu pikiran Aliza.
"Dinda, kamu tidak sopan!" Tegur Mina menjaga nada suaranya.
"Lepaskan, nona, nak." Tegur Abdul tak enak hati kepada nona Aliza.
Sedangkan Puput dan Tasbih hanya diam menyaksikan Adinda larut dalam pelukan seorang Aliza.
"Ada apa, din?" Tanya Aliza bingung dengan sikap Adinda.
Adinda tak menjawab. Air matanya menetes di bahu Aliza. Ia meninggalkan beberapa tetes air mata disana sebelum melepas pelukannya dari sang nona. Ia merasa malu dengan sikapnya sendiri. Apalagi sampai memeluk sang nona yang di anggap terlalu lancang dan berlebihan. Ia mengusap air matanya denga telapak tangan. Dua tiga kali usapan ia lakukan sampai air matanya benar-benar hilang di wajahnya.
"Maaf, Dinda lancang, nona." Ucap Adinda menyadari kesalahannya yang di anggap sangat lancang. Menyadari akan kesalahannya yang di nilai lancang membuatnya tak sanggup lagi memanggil Aliza dengan sebutan kakak sebagaimana yang telah Aliza inginkan di malam itu.
Pengakuan Adinda terdengar aneh di telinga Aliza.
Kenapa nona? Apakah karena perpisahan ini ia harus memanggilku dengan sebutan nona lagi?
Aliza tak ingin menegur bahkan mempertanyakan kenapa Adinda tidak memanggil namanya dengan sebutan kakak lagi melainkan dengan sebutan yang ia saja sudah bosan mendengarnya.
"Saya harap kamu bisa belajar dengan giat dan tekun. Semoga suatu hari nanti kamu bisa menemui saya dengan gelar seperti yang kamu inginkan." Ujar Aliza. "Betapa bangganya mereka memiliki anak sepertimu. Memiliki keinginan yang sangat mulia." Tambahnya memuji Adinda.
"Terima kasih, nona. Saya akan belajar dengan giat dan tekun. Saya akan buktikan kalau saya bisa menjadi seperti apa yang saya inginkan. Saya akan membuat bapak dan ibu bangga." Kata Adinda membalas pujian Aliza.
Hingga akhirnya, Aliza masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin mobil. Ia membunyikan klakson mobil pertanda ia akan pergi. Pamit secara halus sebelum melaju pelan meninggalkan pekarangan rumah Abdul yang tak begitu luas. Itu pun hanya cukup untuk mobil Aliza yang terparkir.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR (KARENA RASA MENGABAIKAN LUKA)
RomanceAliza Bahira, wanita kaya raya dengan segudang prestasi. Akan tetapi, pemikirannya untuk memiliki seorang anak terbilang sangat menggelikan dan sangat aneh. Bagaimana tidak? ia menginginkan seorang anak tanpa mau menikah apalagi memiliki seorang s...