"Woi, Ratu pembohong, di mana istriku? Kenapa belum pulang juga?" bentak Adnan untuk seseorang yang sedang ia ajak bicara melalui ponsel yang ia genggam di tangan kanan.
Tak ada yang menjawab dari seberang. Ia putus asa lalu menjambak rambutnya sendiri seperti orang kesurupan. Selimutnya ia remas kuat hingga kusut. Dirinya yang bertelanjang dada juga tak sadar telah membuat sepasang bola mata berwarna coklat menatapnya tajam.
Setelah Syifa yang minggat dari rumah dengan tiba-tiba dan meninggalkan begitu banyak beban untuk Adnan di penghujung hari yang ia rindukan, sekarang Adnan sudah lelah dan semakin terlihat kusut dan berantakan.
"Ini telah berakhir, Adnan. Tidak ada jalan keluar lagi," kata seorang wanita yang duduk di samping Adnan menutup tubuhnya dengan selimut putih. Rambutnya tergerai dan sedikit berantakan.
"Apa maksud kamu?" tanya Adnan bingung. Ia terlihat seperti putus asa dan berantakan. Ia juga kembali menjambak rambutnya dengan kejam. Seakan ia tak merasakan sakit fisik lagi.
"Aku tidak bisa lagi bermain api denganmu. Akan ada hati yang tersakiti karena kita," jawabnya.
Adnan membuang ponselnya ke sembarang tempat. Di manapun asal tak jatuh ke lantai. Kali ini ia tengah di rundung kegalauan yang bertingkat tinggi. Ia bingung harus berbuat apa karena akhir-akhir ini ia sering mengigau dan merindukan sosok seorang wanita yang tak pernah ia rindukan sebelumnya. Hatinya selalu merindukan seseorang yang tak kunjung datang menemuinya. Entah itu ego atau gengsi yang telah membuatnya menjadi penderitaan.
"Maafkan, aku. Nyatanya hati tak bisa berbohong," kata Adnan. Ia menunduk dan mengeluarkan suara serak.
"Kamu benar. Dulu kita sangat saling mencintai. Hingga akhirnya satu janin datang dan membuatnya berubah. Aku mengerti." Sambil wanita itu mengangguk paham.
"Jangan salahkan anak itu. Aku mencintai kalian," ujar Adnan.
"Tapi, rasa cintamu kepada dia lebih besar," tepis wanita bermata coklat itu dengan pelan.
Adnan mengangguk kecil. "Jaga anakku, Bona," pinta Adnan.
"Tidak, kalian yang akan menjaganya," tolak Bona saat itu juga.
Entah sejak kapan air mata itu tertampung dan kini menjadi air mata yang deras. Membasahi pipi Bona yang berwarna kemerah-merahan. Jatuh dan tumpah dari tebing yang curam.
Adnan mendongak. Perkataan Bona barusan membuat ia bingung dan semakin pusing. Belum selesai masalah yang pertama kini ditambah lagi dengan masalah yang baru dan lebih memilukan. Menghadapi ini seorang diri terlalu sulit baginya.
"Ada apa, Bona?" tanya Adnan pelan. Ia berusaha bicara dari hati ke hati.
Bona tidak menjawab. Perhatiannya tengah terusik oleh hadirnya sakit hati dan air mata yang tak kunjung reda. Jauh sebelum Adnan kembali lagi ke dalam hidupnya, ia sebagai seorang wanita sudah sangat menderita dan tersakiti. Selama ini ia selalu menaruh sabar dan menyampingkan egonya untuk cintanya kembali. Tapi, nyatanya cinta di antara mereka berdua sudah runyam bersama malam yang terlewat begitu saja hingga akhirnya, matahari terbit dan mendatangkan kesedihan untuk mereka bagi.
***
Sambil memegang ponsel, Aliza berderai air mata. Ia melorot turut dan tersandar di dinding. Hatinya terasa sakit dan merasakan sesak yang berlebihan. Matanya menumpahkan amarah juga kesedihan secara bersamaan.
"Kenapa Aku harus menanggungnya? Kenapa?" Aliza membatin.
Wajah cantik dan kulit seputih susu tak mampu menampikkan sikap dingin Aliza. Sebaik-baiknya ia dan sesabar-sabarnya ia, akan tetapi ia tak bisa menjamin akan sampai kapan ini akan berakhir. Ia hanyalah manusia biasa yang mempuanyai perasaan dan batas kesabaran. Dan, mungkin saja keaabarannya habis sekarang juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR (KARENA RASA MENGABAIKAN LUKA)
RomanceAliza Bahira, wanita kaya raya dengan segudang prestasi. Akan tetapi, pemikirannya untuk memiliki seorang anak terbilang sangat menggelikan dan sangat aneh. Bagaimana tidak? ia menginginkan seorang anak tanpa mau menikah apalagi memiliki seorang s...