26

735 17 2
                                    

"Dinda udah nggak sabar pengen ketemu dengan dedek bayi," kata Dinda sambil sumringah.

Aliza mengelus sayang perut buncitnya yang bersembunyi dari balik kain yang berwarna hitam. "Kamu pengen main tebak-tebakan?" ujar Aliza.

"Mau," jawab Dinda ceria.

"Hmm, dedek bayinya cewek apa cowok?"

"Bentar," kata Dinda dengan raut wajahnya yang menerka isi perut Aliza. Ia diam sejenak memastikan siapa yang berada di dalam sana. Ia mengulurkan tangannya dan seperti meraba angin tepat di hadapan perut Aliza.

"Kamu ngapain, sih?" tanya Aliza bingung.

"Meramal," jawab Dinda sambil menutup kedua matanya. Ia seakan terlihat seperti Peramal sungguhan.

Aliza tersenyum lebar. Melihat tingkah Dinda yang tak biasa membuatnya ingin tertawa terbahak-bahak.

"Ahh, ini sulit," kata Dinda putus asa.

"Kok sulit, sih?"

"Soalnya Dinda pengen punya dede bayi kembar."

"Hahaha, kakak yang mengandung kamu yang pengen punya dedek bayi kembar, lucu banget sih kamu."

Dinda tersenyum lebar lalu ia memeluk Aliza dengan sayang. "Meluk bumil rasanya adem."

"Sudah lama, Din," kata Aliza dengan nada suara parau.

"Bumil nggak boleh sedih. Bumil harus kuat," ujar Dinda menyemangati Aliza yang sedang beraut sedih entah karena sesuatu.

"Kita harus pergi sekarang," ujar Aliza. Kedua wanita cantik itu pun bangkit dan berjalan bersama menuju pintu yang terbuka lebar.

Di bawah pohon yang berdiri kokoh seorang pria berdiri menatap batang pohon tersebut. Tangannya mengepal kuat dan manik matanya sangat tajam. Sebuah pukulan keras mendarat tepat di batang pohon tak bersalah itu. Alhasil membuat cairan berwarna merah sedikit demi sedikit menampakkan warnanya disana. Satu dua pukulan seperti tak cukup baginya. Ia terus memukul pohon itu tanpa rasa sakit. Wajahnya menampakkan kebencian dan kesedihan yang sangat membara.

"Ibram,"

"Ibram,"

"Berhenti, nak."

Seorang wanita beljilbab kuning berlari menghampiri pria tersebut. Wajahnya cemas, panik, dan sedih. Ia merasa ketakutan melihat aksi remaja tersebut.

"Ibram, apa yang kamu lakukan?" tanya Asma. Bola matanya mulai berkaca-kaca dan napasnya tersengal-sengal.

Ibram tak kunjung menghentikan aksinya. Ia terus memukul pohon itu dengan sangat kuat. Bahkan kepalan tangannya tak semulus waktu di awal. Kini kepalan tangannya ternodai oleh darah berwarna merah menyala.

"Hentikan, nak!" Asma memeluk Ibram yang terlihat sangat menakutkan. Wajah periang seperti biasanya hilang di saat itu juga. Itulah mengapa Asma sangat ketakutan melihat tingkah Ibram.

"Lepasin, Ma." Ibram dengan kasar melepas pelukan Asma secara paksa. Alhasil Asma terjatuh ke tanah.

"Ibram." Bersamaan dengan itu Syifa yang terkejut melihat Asma terjatuh ke tanah ia menghampiri Ibram.

PLAAAAK.

Syifa menampar wajah Ibram denfan sangat kuat dibagian pipi kanannya. Wajahnya marah dan ia terlihat sangat menakutkan saat itu juga.

"Gila kamu," bentak Syifa pada Ibram. Setelah itu Syifa menghampiri Asma yang terlihat lemah tak berdaya. Ia sangat sedih dan kecewa dengan sikap Ibram. Syifa membantu Asma untuk berdiri kemudian mereka pergi dari hadapan Ibram. Sementara itu, Ibram hanya diam meratapi kesalahannya. Ia berdiri di atas pijakan kakinya yang mulai melemah. Ia terjatuh dan menyalahkan dirinya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TAKDIR (KARENA RASA MENGABAIKAN LUKA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang