19-TAKDIR

355 26 0
                                    

Seorang wanita dengan daster selutut yang melindungi perut buntingnya duduk di sofa berwarna putih. Tangannya terulur tuk mengambil sebuah majalah di atas meja.

"Ini minumannya, Nona." Secangkir minuman disuguhkan untuknya di sore ini.

Perempuan dengan seragam pelayan yang berwarna merah muda beranjak ke dapur setelah meletakkan cangkir sambil membawah nampan yang kosong.

"Kita kan beda satu bulan kerja disini. Kamu pernah liat suami Nona, tidak?" tanya pelayan itu.

"Iya, ya. Sejak kita kerja disini tak sekalipun suami Nona menampakkan batang hidungnya. Jadi penasaran perawakannya seperti apa." kata pelayan yang sedang memotong sayur.

"Aini, Ana, cepat kesini!" panggil majikan mereka.

"Si Nona manggil."

Kedua pelayan itu segera menghadap ke majikannya. Mereka berdiri saling berdampingan. Jika diperhatikan salah satu dari mereka lumayan bergaya. Bibir merah dan bulu mata yang tebal.

"Sudah berapa lama kalian kerja disini?"

"Aini, kamu diluan," lanjutnya ingin mendengar jawaban yang teratur.

"Saya baru enam bulan, Nona," jawab Aini.

"Saya sudah tujuh bulan. Beda sebulan sama Aini," jawab Ana.

"Okey, besok kalian akan saya kasih bonus. Tapi-"

"Tapi, apa, Nona?" tanya Aini memutus perkataan majikannya.

"Kalian harus setia kepada saya."

"Maksud, Nona?" bingung Ana.

"Jangan pernah membicarakan saya di belakang, jangan pernah mencaritahu tentang saya, jangan pernah berbicara dengan orang luar, dan jangan pernah mencari tahu tentang suami saya. Karena suami saya orangnya-"

Lagi-lagi Aini memutus perkataan majikannya. "Tampan?" katanya dengan sangat percaya diri.

"Aini, kalau kamu terus seperti ini saya akan memecat kamu," ancam majikan mereka.

"Maaf, Nona."

"Suami saya orang jahat. Dia selalu membawah pistol setiap kali ia bepergian. Jadi, kalian jangan pernah membicarakan yang tidak-tidak tentang dia. Kalian paham?"

"Paham, Nona," kata Aini dan Ana bersamaan.

"Lanjutkan pekerjaan kalian!"

"Siap, Nona Aliza."

Setelah ditinggal Aini dan Ana ke dapur. Wanita cantik ini duduk melamun.

"Jalu, saya hamil."

"Selamat, Nona."

"Apakah seperti ini rasanya?"

"Saya harus pamit, Nona."

"Sekarang?"

"Iya. Maaf kalau selama kerja disini saya banyak salah sama Nona."

Sebelum Jalu beranjak ia mencium kening Aliza terlebih dahulu tanpa izin dari Aliza. Tapi, Aliza tak ada masalah untuk itu. Ia hanya tersenyum dan melihat kepergian Jalu dengan senyumannya yang manis juga kedua bola mata yang berkaca-kaca.

"Nona?"

Lamunan Aliza pun tersentak. Ia tersadar dan sedikit terkejut.

"Nona, baik-baik saja?" tanya Aini cemas melihat air mata yang terlanjur membasahi pipi Aliza.

Aliza sedikit bingung. Aini pun menunjuk pipinya dalam upaya mengartikan maksud perkataannya. Dan, itu cukup membantu. Aliza menyentuh pipinya dan itu memang basah.

TAKDIR (KARENA RASA MENGABAIKAN LUKA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang