25

414 15 1
                                    

Sekarang Alice dalam masa pertumbuhan yang lagi lucu-lucunya. Seperti pagi ini, bayi kecil itu sedang melakukan pemotretan. Dan yang paling menggemaskan ketika melihat Alice adalah tingkah lucunya ketika ia mengeluarkan pose-pose imutnya. Tersenyum, menatap kamera bingung, dan masih banyak lagi pose-pose yang tak terduga dari Alice.

"Alice, sayang," panggil Arina agar Alice melihat ke kamera. Namanya juga anak kecil. Mereka belum tahu banyak persoalan pemotretan. Tapi, kalau mereka berpose imut seperti itu, tak ada satupun rasa lelah yang menghampiri. Maunya tertawa mulu.

"Bagus, sayang," puji Arina penuh semangat.

Setelah melakukan pemotretan mengenakan baju wonder woman, tahap berikutnya ialah, Alice akan melakukan pemotretan di kolam renang. Ia akan di potret di atas sebuah salah satu wahana permandian. Sambil ditemani buah-buahan di dalamnya. Kostum Alice pun berwarna senada dengan buah jeruk. Sangat menggemaskan bayi satu ini.

Pose-pose dan tawa menggemaskan Alice cukup membanggakan untuk hasil pemotretan hari ini. Duduk di pangkuan Arina juga cukup membayar penat Alice yang menjadi pusat perhatian hari ini. Bayi kecil itu kini tidur dalam pangkuan sang Bunda.

"Sayang sekali, papi melewatkan pemotretannya," ujar Feliks yang duduk di samping Arina. Mereka sedang duduk di pinggir kolam renang.

Arina tersenyum kecil. "Hari ini Alice terlihat sangat gembira."

Feliks mencuri pandang kepada istrinya. "Tadi aku bertemu Sintia."

Arina diam. Ia tak terlalu menanggapi perihal Sintia yang Feliks bicarakan.

"Sepertinya Sintia hanya mempermainkan Aliza," lanjut Feliks.

"Maksud kamu?" bingung Arina.

"Dia jalan sama pria berondong. Aku takut Aliza bisa mengamuk lagi."

"Jangan dikasih tau," ujar Arina.

"Aliza cerdas, sayang. Sintia saja yang cukup bodoh."

Arina menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. "Sudah lama sekali. Aku rindu dengan, Aliza."

Feliks tersenyum simpul. Ia meraih bahu istrinya lalu mengecup puncak kepala Arina penuh sayang.

***

"Dimana, Dinda?" tanya Asma pada Ibram yang baru datang setelah seharian menimbah ilmu di kampus.

Ibram duduk tuk melepas penatnya di sofa. Ia menyandarkan tubuhnya juga melebarkan kakinya. Kemudian mengembuskan napas panjang. "Dinda pulang ke kos-nya. Ngapain juga Ibram bawa pulang Dinda ke rumah."

"Ohh, jadi Dinda tinggal di kos."

"Lagipula Dinda nggak boleh dekat-dekat banget dengan Ibram. Dia punya gebetan. Namanya Boy, senior di kampus," kata Ibram dengan wajah kusut.

"Jadi, kamu cemburu," tuding Syifa. Ia mengambil duduk di sofa lainnya.

"Enak aja. Sotoy!"

"Ihh, biasa aja kali."

"Udah-udah. Kalian ini," lerai Asma.

Ibram bangkit dari duduknya dengan wajah kesal. Ia melirik Syifa lalu berjalan dengan kikuk.

"Sayang banget Ibram menyerah begitu saja. Padahal, Dinda anak yang manis," ujar Syifa. Ia merasa sedikit kecewa karena tahu adiknya mudah menyerah. Seperti yang ia tahu, Dinda  adalah gadis yang baik menurutnya.

"Biarkan saja dulu. Toh mereka masih kecil. Jodoh kan nggak ke mana," ujar Asma dengan pembawaannya yang tenang.

"Mama ke dapur dulu," kata Asma lalu beranjak dari sana. Ia meninggalkan Syifa yang masih berkutik dengan ponsel di tangannya.

Ditinggal Asma ke dapur, Syifa meletakkan ponselnya ke atas meja kaca yang diatasnya terbentang kain satin berwarna cokelat. Ia mengembuskan napas pelan. Wajahnya langsung berubah menjadi sedih. Ia menunduk. Dan, seketika air mata menetes dari dagunya dan meluncur mengenai roknya yang berwarna putih yang disenadakan dengan baju berwarna biru muda. Jilbab putih yang menutupi kepalanya ia raih tuk mengusap air mata di pipinya. Setelah itu, ia mengambil bantal kecil di sampingnya lalu meremasnya dengan kuat. Bibirnya bergetar menahan rasa sedih yang sangat mendalam. Hidup seperti ini begitu menyakitkan. Sudah lama ia tidak melihat dan bertemu dengan suaminya. Masalah yang tengah ia hadapi bukanlah hanya sekadar masalah biasa. Bukan lagi sebuah kerikil melainkan sebuah batu besar yang berada di tengah jalan yang membuatnya sulit untuk dilalui. Butuh kekuatan ekstra untuk melaluinya.

Selagi Syifa masih menangis tanpa suara, ia tak menyadari ada sepasang bola mata yang tengah memerhatikannya. Sekejap dua bola mata itu menumpahkan air mata. Dua bola mata milik Asma tak kuasa menahan kesedihannya. Selama ini ia selalu berusaha kuat untuk anak-anaknya, terutama Syifa. Anak perempuannya yang tengah menghadapi masalah sangat butuh sebuah dukungan untuk saat ini. Bukan kesedihan dan belas kasihan.

"Maafin Mama, Syifa," Asma membatin.

Di bawah lampu merah ada dua mobil berwarna hitam yang sedang menunggu. Dua mobil itu bersebelahan dan juga terlihat sama. Dari dalam mobil yang berada di sebelah kanan, ada seorang pria yang tengah duduk di balik kemudi. Ia melihat ke kiri dan mendapati seorang pria berambut pirang berwarna merah hanya di bagian atas sedang duduk di balik kemudi. Pria itu melihat ke depan dan tak menyadari dirinya tengah diperhatikan. Setelah lampu berubah menjadi hijau, dua mobil hitam itu melaju pelan. Mobil hitam yang tadinya menunggu di sebelah kanan melaju pelan di belakang mobil yang satunya.

Tiba di perempatan jalan, mobil hitam yang melaju di depan mengambil jalur kiri begitu pula dengan mobil yang berada di belakangnya. Sadar telah diikuti setelah melihat dari kaca spion mobil hitam yang dikemudikan oleh pria berambut pirang itu pun berhenti di tepi jalan setelah mengerem mendadak. Alhasil bagian belakang mobil itu tertabrak dan menyebabkan lampunya pecah dan menghasilkan bunyi berserobok yang cukup keras. Untung saja kedua pengemudi itu tidak apa-apa.

Pria berambut pirang itu pun keluar dari mobilnya. Wajahnya terlihat marah dan kesal. Ia berdiri di samping mobilnya dengan tangan yang mengepal kuat. Menatap tajam ke depan. Tak menunggu lama, pengemudi mobil yang menabrak pun juga ikut keluar. Mereka berdiri saling berhadapan di samping mobil masing-masing.

"Oh, lo pelakunya. Nggak heran kalau lo berani buat kekacauan seperti ini. Bokap lo kaya. So, gue nggak takut harus minta ganti rugi," kata pria berambut pirang itu dengan bernada mengejek. Ia melepaskan kepalan tangannya setelah itu.

"Jauhin, Dinda!" suruh pria yang menjadi pelaku kekacauan itu.

Mulut pria berambut pirang merah itu terbuka dan alis satunya terangkat. "Lo suruh gue? Emangnya lo siapanya, Dinda?"

"Jauhin, Dinda!" suruhnya lebih tegas.

"Kalo gue gak mau, lo mau apa?" tantangnya.

Ibram mengepal tangannya dengan kuat. Giginya menyatu dengan kuat dan matanya menyoroti pria berambut pirang itu dengan tajam. "Atau salah satu di antara kita gak ada yang bisa miliki dia."

Secepat kilat, Ibram maju dan langsung mendaratkan pukulan keras di wajah pria berambut pirang itu. Sontak saja membuatnya terjatuh. Cairan berwarna merah pun keluar dari ujung bibirnya. Terlihat sangat segar.

"Jauhin dia, Boy!" tegas Ibram dengan wajah sangar dan tatapan yang berapi-api. Ia terlihat lebih beringas dari biasanya. Kali ini Ibram bukanlah Ibram yang lemah ketika ia berhadapan dengan Syifa, tapi kali ini ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pria di hadapan seorang pria.

Pria berambut pirang itu tersenyum mengejek. Dalam kondisinya yang lebam, ia masih bisa tertawa mengejek seperti itu. Sangat luar biasa. "Tadinya gue cuma ingin mainin, Dinda. Dia kampungan, dan menurut gue mudah aja buat jadi mainan gue, tapi dibalik kampungannya itu ternyata ada seorang pahlawan. Gue jadi tambah semangat buat mainin dia." Setelah itu Boy tersenyum mengejek. Ia bangkit dan memercikkan tatapan murka kepada Ibram yang siap untuk membantingnya kapan saja.

Sebelum Boy bangkit dan membalaskan apa yang telah Ibram lakukan, tanpa disangka Ibram langsung menarik kera baju Boy dan memberikan pukulan yang lebih keras tepat di wajah Boy. Sekejap saja. Boy langsung terlentang dan keluar darah dari hidungngya. Tak ada rasa penyesalan dan bersalah, Ibram beranjak begitu saja dari sana. Sementara itu, Boy yang menjadi amukan dari Ibram hanya bisa terbaring lemah di atas aspal yang dingin. Setengah sadar, ia melihat buram gelapnya malam di tengah-tengah pohon yang berdiri kokoh.


TAKDIR (KARENA RASA MENGABAIKAN LUKA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang