24

428 16 0
                                    

Mobil hitam melaju pelan masuk ke halaman rumah. Setelah mobil itu berhenti seorang pria berjas  turun dari mobil lalu melangkah dengan langkah yang sangat terburu-buru. Ia setengah berlari kecil sampai masuk ke dalam rumah.

"Selamat datang, sepupu tampan. Memiliki dua pujaan hati memang sangat menguntungkan," sambut Aliza dingin. Ia berdiri menghadap ke luar kaca besar tanpa tirai.

Tak terkejut dan seakan sudah siap akan situasi seperti itu. Seorang Adnan yang belakangan ini tengah terlilit antara cinta masa depan dan cinta masa lalu itu diam dengan mimik tenang, tapi gugup. Ia hanya butuh untuk melonggarkan dasinya.

Aliza berbalik dengan tenang. Kondisinya saat ini tidak memperbolehkannya terlalu terbebani pikiran bahkan bertindak berlebihan. "Bukan hal yang biasa lagi bukan? Kau selalu tenang ketika menghadapiku."

Adnan hanya terdiam. Bulir-bulir keringat mulai mengucur di wajahnya. Entah, itu karena suasana sedang panas. Tapi, rumah Adnan dilengkapi AC. Itu tidak mungkin membuat Adnan berkeringat selain rasa tenangnya yang dipaksakan.

"Duduklah!" suruh Aliza layaknya pemilik rumah.

"Kau tahu dari Syifa?" tebak Adnan gugup.

Aliza menatap Adnan tajam. "Apakah istrimu seorang pengadu?" jawab Aliza dingin.

"Dimana istriku?" tanya Adnan.

Aliza tersenyum menyungging. "Istri? Jangan harap Syifa mau menjadi istrimu lagi setelah tahu apa yang suaminya pernah lakukan."

"Aku bisa mengurusnya. Tolong, jangan ikut campur, Aliza," pinta Adnan.

"Ikut campur?" tanya Aliza memastikan kalau ia tak salah dengar.

Kedua mata mereka bertemu dan saling bertahan untuk tidak berkedip. Dua bola mata indah yang berubah menjadi tajam tampak garang tak tertampikkan.

"Kau tidak becus dan malah menyuruhku untuk diam? Laki-laki macam apa yang berani mempermainkan dua hati dalam waktu bersamaan," lanjut Aliza tajam.

"Jangan terlalu berlebihan, Aliza. Aku juga tahu bagaimana kisah cintamu," balas Adnan.

Seketika keberanian tatapan Aliza meredup. Ia memalingkan wajahnya dari Adnan. Melihat ke lain arah tepatnya pigura foto pernikahan Adnan dan Syifa yang dipajang cantik. Entah, Ada yang terasa lucu sehingga Aliza tersenyum sinis.

"Kau mengancamku?" ujar Aliza.

Adnan yang masih terpaku tajam menatap Aliza kian membara dan berapi-api. "Wanita macam apa yang rela ditiduri tanpa ada ikatan cinta? Kini, ia juga berani dan tak punya rasa malu untuk mengandung?!"

Entah apa yang dimaksud Adnan adalah kebenaran. Kini ia telah membuat Aliza murka dan marah. Malu dan rasa kecewa seketika menghampiri jiwanya yang sejenak terkendali oleh rasa murka atas apa yang keluar dari mulut Adnan. Aliza melangkah maju dengan perlahan. Tepat di hadapan Adnan. PLAKKK.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Adnan. Tak terhitung menit pula wajah Adnan memerah bak kepiting rebus. Rasa sakit yang ia rasakan tak seberapa atas apa yang ia katakan beberapa detik yang lalu. Menyayat hati seorang Aliza yang sedang mengandung. Sangat sensitif.

"Setelah kau mengatakannya, sekarang aku jadi tahu. Kau laki-laki menyedihkan setelah menikah dengan Syifa. Tak berani menyentuhnya karena kalah dengan  perasaan cinta. Menyedihkan!"

Marah, malu, kecewa, dan menyesal itulah yang tengah membelunggu di dalam jiwa Adnan. Ia tak kuasa lagi untuk menatap Aliza. Pandangannya menunduk di hadapan Aliza yang berdiri bersimbah air mata. Bibir mungil Aliza bergetar menahan amarah yang kian berkoar setelah sekian lamanya ia vakum untuk tidak melakukan hal yang aneh-aneh lagi. Kini, siapa sangka ia kembali dengan pribadi yang lebih keras lagi.

"Selesaikan semua ini sebelum kau menyesalinya," ujar Aliza lalu beranjak pergi dari rumah Adnan.

Setelah ditinggalkan Aliza, setelah mendapatkan amukan fisik dari Alizaa, dan setelah mendapatkan peringatan terakhir dari Aliza, kini Adnan merasa sangat hina dan benci akan kehidupannya. Ia tak menginginkan hidupnya lagi. Air mata penyesalan tak bisa tertahan lagi. Terlentang di atas ubin sambil menangis membuatnya terlihat semakin menyedihkan lagi.

***

"Dia siapa?" tanya Asma bingung kepada Ibram yang berdiri basah kuyup di teras rumah.

"Namanya Dinda, dia-"

"Pacar kamu," tebak Asma memutus perkataan Ibram.

"Bukan, tante. Saya teman kampusnya Ibram," tepis Dinda halus.

Asma tersenyum kecil. Ia menatap sayang Ibram dan memberikannya percikan manis. "Tumben yang ini diajak ke rumah," goda Asma.

"Aih, Mama buat Ibram malu aja. Kapan kita bisa masuk. Kasihan Dinda kedinginan," ujar Ibram.

Asma baru menyadari kalau Ibram dan Dinda sedang basah kuyup di malam yang dingin seperti ini sehabis hujan yang lumayan deras beberapa menit yang lalu. "Astagfirullah, memangnya kalian habis darimana? Trus, dimana mobil kamu? Kenapa tidak berteduh saja dulu?" tanya Asma bertubi-tubi. Ia cemas dan khawatir akan kondisi Ibram dan Dinda yang basah kuyup.

"Nanti Ibram jawab. Sebaiknya Mama izinkan kami masuk terlebih dahulu. Kasihan kalau Dinda sakit. Besok akan ada kelas pagi-pagi," ujar Ibram yang mulai tak sabaran ingin masuk karena kedinginan.

"Ya ampun, maafin mama. Maafin tante, sayang. Silahkan masuk," ujar Asma memberi jalan kepada Ibram dan Dinda setelah menutup akses masuk karena hal yang tak ia sadari awalnya.

"Terima kasih, tante," ucap Dinda sambil tersenyum manis.

Sambil ditemani Asma, Dinda dipandu ke kamar tamu tuk berganti pakaian sekalian membersihkan diri. Karena, tubuh Dinda yang ramping dan hampir seukuran dengan Syifa, Asma lebih tenang dan merasa senang melihat kehadiran Dinda.

"Ini bajunya kakaknya, Ibram. Namanya Syifa," kata Asma memperkenalkan baju milik Syifa yang dulunya pernah menghuni tubuh mungil Syifa untuk beberapa waktu tapi kini baju-baju itu tersimpan rapi di lemari karena kebanyakan baju-baju itu sudah tak muat lagi di badan Syifa.

"Dimana kak, Syifa?" tanya Dinda akrab. Bukannya ia sok akrab atau sok kenal di awal pertemuannya dengan keluarga Ibram, akan tetapi Ibram banyak menceritakan perihal keluarganya kepada Dinda.

"Dia sudah tidur," jawab Asma.

"Dinda jadi nggak enak pake bajunya, kak Syifa. Kalau boleh Dinda mau minta izin dulu," ujar Dinda tidak enak hati.

"Lebih tidak enak kalau kamu membangunkan tidurnya Syifa. Dia tidak akan senang," ujar Asma pelan penuh pengertian.

"Pake saja dulu. Besok, kamu bisa katakan alasan kenapa kamu bisa memakai baju-baju kesayangannya," lanjut Asma.

"Tapi, tante-"

"Jangan kahwatir. Cepat, ganti baju kamu. Besok kalian bisa bangun kesiangan."

"Maksud, tante?"

"Kamu tidur di sini, kan?"

Dinda menggeleng pelan. "Dinda harus pulang, tante. Dinda nggak enak menginap di rumah orang."

Asma meletakkan baju Syifa ke atas ranjang. Ia berjalan menghampiri Dinda. "Tidurlah di sini. Anak perempuan tidak boleh berada di luar malam-malam begini."

Dinda tersenyum canggung dan malu. "Terima kasih, tante. Tapi-"

"Husttt."

Asma mengulurkan tangannya. Ia mengusap pipi Dinda dengan sayang. Menatapnya pun penuh sayang. "Kamu cantik," puji Asma.

Dinda semakin malu di hadapan Asma. Paras cantik Asma di usianya yang tak muda lagi membuat Dinda semakin malu akan pesona Asma yang semakin matang. Meski kulit putihnya mulai keriput, akan tetapi itu tidak membuat Asma tetlihat tua, malah sebaliknya.

Yey yey yey. Senangnya hatiku bisa balik lagi. Uhuyyyyy.

Gimana-gimana? Semoga syukak

Mari terus berkarya untuk negeri ini. Jangan jadikan musibah sebagai pemicu melemahnya semangat.

Salam,

TAKDIR (KARENA RASA MENGABAIKAN LUKA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang