Hari ini Aliza dan Jalu sedang terlibat pembicaraan empat mata di ruang pribadi Aliza.
"Sebelum kita berangkat saya mau kamu menyetujui beberapa hal yang telah saya tulis." Ujar Aliza.
"Apa itu?"
"Ini." Kata Aliza sambil menyodorkan selembar kertas kepada Jalu.
Jalu mengambilnya. Langsung membacanya.
Dari surat yang Aliza tulis sendiri tercantum beberapa poin pernyataan yang harus Jalu setujui. Di ujung bawah surat itu Juga terdapat usul tanda tangan kedua belah pihak yang belum tercoret tinta.
"Beberapa hari ini saya sendiri tidak percaya dengan alur kehidupan saya. Rasanya seperti mimpi, dibilang mimpi juga bukan, itu apa?" Jelas jalu merasa bingung dengan apa yang tengah ia jalani.
"Itu namanya kehidupan." Sahut Aliza.
"Kalau ini memang takdir. Saya berharap ini hanya mimpi." Batin Jalu.
"Gimana, kamu setuju?" Lanjut Aliza.
Jalu mendongak. Mengambil boltpoint dan membubuhkan tanda tangan di ujung surat yang telah ia baca.
Kini giliran Aliza. Ia juga membubuhkan tanda tangannya.
Setelah itu, Aliza mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Jalu. Jalu menyambut uluran tangan Aliza. Mereka berjabat tangan dalam artian menyetujui apa yang telah Aliza tulis secara bersama.
***
"Kalau memang jalannya memang seperti ini. Hamba ikhlas ya Allah."
"Hamba serahkan semuanya kepada-Mu."
"Semoga Hamba tidak merasakan sakit yang sangat berarti." Batin Jalu sambil menyetir.
Baru kali ini Aliza mendatangi tempat ini. Sebuah Villa yang terletak di bawah kaki gunung. Itu Villa milik Feliks yang diwariskan kepada Aliza. Hadiah yang baru saja Aliza dapatkan beberapa hari yang lalu.
"Selamat datang." Sambut Feliks.
Arina tampak melemparkan senyuman kepada Aliza. "Selamat datang." Sambut Arina juga.
Aliza pun menghampiri Arina yang tengah menimang Alice.
"Hai Alice! Apa kabar?" Sapa Aliza sambil memegang tangan Alice yang ditutupi kos tangan.
"Alice, baik kakak." Jawab Arina mengubah suaranya layaknya anak kecil meski suaranya tak mirip-mirip amat.
"Alice, kangen sama kakak?" Tanya Aliza.
"Kangen sekali." Jawab Arina mewakili perasaan Alice.
Aliza tersenyum lebar. Ia sangat merindukan Alice. Sangat rindu. Padahal mereka baru tiga hari tidak bertemu.
Jika Aliza sudah melepaskan rindunya kepada Alice. Lain dengan Jalu. Pria satu ini masih sibuk mengangkat beberapa barang milik Aliza. Ada dua koper dan beberapa barang lainnya.
"Loh, kenapa kamu yang angkat semuanya? Mang Arif dimana?" Tanya Feliks menegur Jalu yang sedang mengangkat koper milik Aliza yang berukuran besar.
Mang Arif? Jalu tidak mengenalinya. Jalu baru pertama kali datang kesini.
"Saya tidak tahu, Tuan." Jawab Jalu capek karena koper yang di bawahnya susah di ajak kompromi saat melewati tangga depan rumah.
"Mang Arif." Teriak Feliks sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah.
Yang di panggil pun langsung datang. "Iya, Tuan."
"Bantuin Jalu pindahin Barang mereka ke dalam. Kasihan Jalu udah nyetir daritadi." Suruh Feliks.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR (KARENA RASA MENGABAIKAN LUKA)
RomanceAliza Bahira, wanita kaya raya dengan segudang prestasi. Akan tetapi, pemikirannya untuk memiliki seorang anak terbilang sangat menggelikan dan sangat aneh. Bagaimana tidak? ia menginginkan seorang anak tanpa mau menikah apalagi memiliki seorang s...