Kalau tak ada aral melintang. Dua minggu lagi sesuai medis, Aliza akan melahirkan. Tapi, anehnya wanita berkulit putih ini tidak berniat melakukan persalinan di rumah sakit manapun. Jauh-jauh hari setelah ia melakukan cek kandungan dan membuat janji dengan seorang dokter specialis kandungan yang menjadi dokter pribadinya juga selama mengandung. Sedikit aneh memang. Banyak yang Aliza pelajari dan lakukan ketika memilih dan memutuskan untuk bersalin di rumah. Pihak medis juga sudah memberitahu apa saja resiko yang akan ia hadapi ketika itu memang akan terjadi. Dengan pikiran yang matang, akhirnya ia memutuskan untuk melakukan persalinan di rumah.
Mulai dari keperluan medis sampai keperluan bayi sudah lengkap ia persiapkan. Di dalam ruangan khusus yang akan ia tempati bersalin sudah disiapkan semuanya. Sebelum itu beaar-benar terpakai, ruangan itu akan selalu di tutup dan di kunci untuk menjamin kebersihannya.
"Selamat pagi, Nona," sapa ramah pada Aliza yang baru saja keluar dari kamarnya dengan penampilan selalu sama. Selalu cantik dalam balutan kain katun.
Selama ini Aliza cukup kuat dan sabar untuk menghadapi dirinya yang terkadang di luar kendali. Mencoba menekan rasa kerinduan kepada seseorang yang selama ini tak nampak dalam pandangannya. Demi si calon buah hati, ia melakukan apa saja untuk membuat dirinya lebih baik dan bisa lebih santai. Stres tidak baik untuk janin di dalam kandungannya.
"Nona, mau makan malam dengan apa?" tanya Ana.
"Terserah," jawab Aliza pelan bersandar di punggung kursi. Ia sedang melihat pemandangan langit sore yang berwarna merah padam terbenam di ujung sana.
"Bukan apanya, Nona. Kemarin makanan banyak yang kebuang. Jadi, alangkah baiknya kalau tidak ada lagi makanan yang terbuang karena nafsu makan Nona yang menurun," jelas Ana. Biarpun ia hanya sebagai seorang pelayan, akan tetapi ia juga merasa kasihan ketika dia sendiri yang ujung-ujungnya akan berhubungan dengan sisa makanan.
Aliza mendongak. Ada Ana dengan seragam pelayannya berwarna hitam memandanginya sopan.
"Apa yang biasa kalian makan kalau lagi tak nafsu makan?" tanya Aliza.
Ana menatap Aliza bingung. Ia berpikir tidak mungkin Nona Aliza mau makan makanan kampung yang mereka gemari selama ini secara sembunyi-sembunyi selama bekerja di rumahnya.
"Aih, Nona tidak akan suka," jawab Ana mengelakkan tangannya lunak.
"Bilang aja," paksa Aliza.
Ana berdeham. "Mungkin cireng akan pas untuk Nona."
"Cireng?"
Ana mengangguk malu. Juga sedikit menyesal telah memberikan ide konyolnya kepada sang Nona.
"Saya pernah mendengarnya, tapi belum pernah mencobanya," kata Aliza. Bisa dibilang wanita blasteran Prancis ini tak pernah menyentuh makanan seperti itu.
"Tolong, bantu saya," pinta Aliza mengulurkan tangannya ingin bangkit dari kursi. Usia kandungannya yang semakin bertambah dan terus berkembang membuatnya sulit untuk bergerak. Seperti, bangun dari duduknya sendiri.
Ana menerima uluran tangan Aliza. Ia membantu sang Nona bangkit dari duduknya.
"Yukk, kita makan cireng," ajak Aliza sambil tersenyum merekah.
Selagi Ana dan Aini membuat cireng untuk sang majikan. Aliza duduk bersantai karena tak bisa turut ikut campur di dapur. Ana dan Aini menghawatirkan kondisi Aliza ketika Aliza memaksa ingin membantu. Mereka ada benarnya juga. Selain itu, Aliza sama sekali tak tahu menahu tentang dapur. Dari pada nantinya malah menyusahkan lebih baik ia mendengarkan dua pelayannya itu yang selama ini suda sangat dekat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR (KARENA RASA MENGABAIKAN LUKA)
RomanceAliza Bahira, wanita kaya raya dengan segudang prestasi. Akan tetapi, pemikirannya untuk memiliki seorang anak terbilang sangat menggelikan dan sangat aneh. Bagaimana tidak? ia menginginkan seorang anak tanpa mau menikah apalagi memiliki seorang s...