Yang perlu ditanyakan, kenapa dia di stasiun sambil membawa koper dan mulut menggerutu tanpa henti? Ingatkan Jisoo supaya tidak menendang kopernya karena jengkel— jengkel setengah mati sama dia ... dia, dia yang itu ... Taeyong! Kalian pikir siapa lagi?
Taeyong keterlaluan. Mana yang janji akan datang sebelum pukul tiga sore? Persetan sama janji! Jisoo sudah tiba bahkan sebelum pukul tiga sore. Dia kira dirinya yang terlambat— faktanya? Siapa yang patut disalahkan sekarang? Astaga, ini sudah hampir pukul empat sore dan seharusnya dia duduk tenang di kursi karena sebentar lagi kereta berangkat.
Keputusan ikut ‘menemani’ sejenis persetujuan sia-sia. Jisoo menyesal telah mengiyakan ‘ajakannya’ itu. Memang seharusnya dia tidak perlu mengiyakan Sudahlah! Besok dia akan masuk kerja seperti biasanya, persetan sama Taeyong, dia mau pulang! Toh, kereta semenit lagi berangkat. Buat apa menunggu?
Namun, hati nurani Jisoo berkata lain. Berkata bahwa dia harus menunggu dan memastikan Taeyong datang dengan ekspresi menyesal atau paling tidak melihatnya lari terburu-buru membelah jalanan.
Seperti yang dia duga, Taeyong datang terlambat— sangat terlambat — sampai lari tergesa-gesa hingga menubruk pejalan kaki lain dan menerima umpatan karena ketidaksengajaannya yang menyebabkan mereka sama-sama jatuh ke lantai. Jisoo memutar bola mata ke atas sambil mencibir. Itu salahnya kalau kalian lebih menikmati ‘rebahan’ ketimbang mengingat janji.
Dasar manusia rebahan!!!
“Kok masih di sini? Ayo! Keburu kere—”
Jisoo melenggang pergi setelah mengacungkan jari tengah tepat di mata Taeyong. Sambil menarik koper, ekspresinya menyuratkan rasa kecewa sekaligus marah. Marah padanya yang telah membuat mereka tertinggal kereta.
“Jis! Jisoo—elah, lo kenapa, sih?!”
KENAPA DIA BILANG?!
Jisoo sempat berhenti sekadar melemparkan tatapan penuh marah padanya sebelum menarik koper dan jalan cepat-cepat menyebrangi jalan kemudian memanggil satu taksi, namun Taeyong malah balik mengusir sopir taksi tersebut.
“Buat apa manggil taksi? Kita ke Surabaya naik kereta!”
Jisoo pura-pura tak mendengar. Dia memanggil satu taksi lagi, hampir berhasil, kemudian gagal karena Taeyong.
“Lo budek, ya? Kita ke Su—”
“Gue mau pulang kontrakan bukan Surabaya!” ketusnya, hendak pergi namun kali ini Taeyong tak mengizinkannya. Dia menahan lengannya, begitu Jisoo ingin melepas, Taeyong memaksanya ikut balik ke stasiun.
“Gue mau pulang! Taeyong! Lepasin nggak?!” protesnya, bahkan tidak dipedulikan olehnya.
Jisoo menggerutu, tetap berusaha melepas genggamannya. Begitu mereka sampai di loket penjual tiket, Taeyong masih mengenggam tangannya, sembari berbicara dengan si mbak penjaga tiket. Dia membeli dua tiket lagi.
Banyak duit, ya? Pikir Jisoo melirik sinis ke dompetnya.
Jisoo tak pernah tahu berapa banyak duit yang Taeyong miliki, mengingat dia masih aktif sebagai ‘pacar sewaan’ Jisoo yakin, untuk sekarang Taeyong pasti banyak duit.
Setelah urusannya membeli tiket selesai, kini dia menariknya menuju ruang tunggu dan memaksanya duduk. Saat Jisoo berniat kabur, Taeyong sudah menyabotase jalannya. Koper dijadikan penghalang dengan tangan kiri menahan sementara tangan kanannya masih mengenggam lengannya.
“Tunggu dua jam lagi,” katanya.
Dia masih berlagak tak mendengar malah sekarang membuang muka, karena demi apapun Jisoo masih marah padanya.
“Budek lo—awwww!” jeritnya bersamaan dengan jari Jisoo mencubit kecil punggung tangannya. “Astaga, lo itu bener-benar ya ... Barbar!” lirihnya sembari mengusap bekas cubitannya.
Jisoo bergeming, mengabaikannya.
“Iya, iya, gue minta maaf. Gue telat bangun, gue salah,” ucapnya kemudian, “tapi lo juga salah.”
Membuat Jisoo menyipitkan mata dan menoleh padanya.
“Andai lo ngizinin gue nginep di tempat lo, gue nggak bakalan telat begini,” yang kemudian dibalas delikan mata Jisoo, “tapi lo malah marah-marah, ngelarang gue nginep padahal biar—oke, gue diem!” Dia menutup rapat mulutnya begitu Jisoo mengancam akan mencubitnya lagi.
Jujur, Taeyong paling tidak tahan dengan cubitan Jisoo. Cubitan Jisoo cukup berbahaya—tepatnya sangat berbisa, karena setelah dicubit akan membekas. Berapa banyak coba cubitan Jisoo di tubuhnya? Saking seringnya gadis itu mencubitnya.
“Ngambeknya udahan, sih.”
“Gue nggak ngambek. Gue marah!”
Taeyong meringis. “I-iya itu maksudnya. Udahan dong, kan udah minta maaf. Nggak dimaafin?”
“Nggak!” jawabnya ketus.
Kini dia cemberut. Terlihat menggemaskan, tapi menyebalkan bagi Jisoo.
“Kita marahan tuh, kayak orang pacaran tahu nggak?” Jisoo menatapnya sekilas sebelum mencubit lama tangannya hingga Taeyong menjerit tertahan dan menarik jauh tangannya. “Itu sakit, Jisoo, astagaa!!!”
Lalu dengan sabar Taeyong mengusap-usap bekas jubitan Jisoo dan bergumam, “Gimana jadi istri kalau hobinya cubit gini.”
“Nggak ada yang mau jadi istri lo kalau kerjaannya rebahan, mana jorok pula!” sarkastiknya.
Taeyong mencicit, menyesal telah berkata demikian di dekat Jisoo.
“Ada kok ... lo,” bisiknya tiba-tiba sebelum bergeser menjauh dan sebelum Jisoo memberinya cubitan paling mematikan, karena sekarang tatapan Jisoo sungguh liar dan ganas. Sepertinya Taeyong akan menyesali telah merengek supaya Jisoo mau menemaninya pulang ke Surabaya, dengan iming-iming sebulan penuh kontrakan dia yang bayar.
Update dong akhirnya 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Boyforent | Taesoo [✔]
FanfictionDari mantan jadi pacar sewaan ©2019 by Hippoyeaa