Antara keluar atau tidak, Jisoo ragu. Baru kali ini dia sebimbang ini. Masalahnya kebimbangan dia itu agak tak masuk akal. Apa salahnya keluar kamar dan melihat mereka. Iya, kan? Tinggal keluar dan menyapa padahal.
Namun, tetap saja ia bergeming, berdiri seperti orang bodoh di balik pintu kamar. Sekadar mengandalkan sepasang indranya menguping obrolan mereka di luar, lalu hatinya berdebat penuh suka ria. Bahkan tak sadar mulutnya mengoceh pelan, menirukan suara si gadis itu.
“Jisoo kok nggak dipanggil, Yong?”
Ia mendengar teguran samar-samar sang ibu yang menanyakan keberadaannya, lalu jawaban pemuda itu membuat Jisoo mengomel kesal.
Bilang aja lo ogah manggil gue, batinnya marah-marah.
Saat mendengar derap kaki mendekati kamar, Jisoo segera lari menuju ranjang, duduk di sana dengan tenang sembari meraih ponsel dan berlagak sibuk dengan benda canggih tersebut.
Taeyong muncul. Ekspresinya terlihat senang, Jisoo yang menangkap hal itu langsung mencibir dan mengatainya “cowok kardus”.
“Jis, makan siang.”
Enggak!
Tubuh berkata lain. Jisoo gerak cepat berdiri, langsung melewati Taeyong tanpa membalas ajakannya. Di ruang makan, Jisoo disambut oleh ibu Taeyong. Wanita paruh baya itu langsung memintanya duduk di sebelahnya, sedangkan gadis itu ada di meja sebrang melempar senyum padanya.
Nggak usah sok manis! Namun bibirnya menggulum membalas senyumannya.
“Suka jengkol nggak?” Asri bertanya, belum sempat dibalas olehnya, Taeyong sudah menyela dengan piring penuh nasi disodorkan padanya. “Dia nggak suka jengkol, kasih gue aja, As.”
Jisoo memutar bola mata ke atas, merenggut bete.
“Mau sayur Jisoo?” tanya Yuna mengalihkan perhatiannya.
Ia mengangguk samar dengan pandangan terpusatkan pada mereka. FTV banget sih, anjir! Perasaan dongkol menguasai, melihat keakraban kedua sejoli di sebrang sana. Hello, makan mah tinggal makan nggak usah ngobrol juga!
“Ibu tinggal ya, mau nganter makanan buat Ayah,” Yuna ternyata sekadar menemani sesaat. Sudah siap meninggalkan meja makan bersama tumpukan wadah berisi jatah makan siang Amin, suaminya.
“Udah tahu belum, Jaka punya anak?”
“Jaka anaknya Pakdhe Ecul?”
Asri mengangguk semangat.
“Topcer dong reproduksinya,” canda Taeyong.
Jaka Sembung lebih topcer, Goblok! Desisnya, merenggut kian bete.
“Mau nengokin ke rumahnya nggak?”
“Boleh.”
Halah, bilang aja lo mau pergi sama dia!
“Ikut ya, Jis?” Taeyong mengajaknya.
Lo mau jadiin gue obat nyamuk? Taik!
Jisoo mengangguk setuju. Asri jelas tidak suka dengan gagasan Taeyong mengajaknya.
“Ke sananya malam nggak pa-pa?”
Sekalian dibatalin lebih nggak masalah.
Taeyong menjawab, “Biar ntar malam aku sama Jisoo ke rumahmu.”
NGAPA JADI LO YANG NAFSU SIH, DODOL?!
Rasanya Jisoo ingin meledak sekarang juga. Mendengar isi kepalanya penuh rentetan kalimat antagonis membuatnya panik. Setelah menyia-yiakan sepiring makanan, lebih berpusat dengan obrolan mereka dan sahutan gila isi kepalanya, Jisoo memilih beranjak. Ia merenung di dapur memikirkan kegilaan isi kepalanya belakangan ini.
Namun tak lama kesunyiaannya diganggu oleh kedatangan mereka. Taeyong dan Asri masuk ke dapur sambil membawa masing-masing piring bekas makan.
Bener kata Yuta, makin gila gue di sini.
“Biar aku aja yang nyuci,” Asri meminta piring milik Taeyong. Taeyong dengan suka rela memberikan miliknya, bahkan mengawasi gadis itu di samping Jisoo.
Biasa aja ekspresinya!
Jisoo pun ikut mengawasinya, ketika Taeyong menoleh padanya, mata Jisoo langsung melotot galak. Membuat pemuda itu menyeringai dan dengan cepat mencium pipi Jisoo tanpa sepengetahuan Asri tentunya.
Begitu si Kembang Desa selesai, Taeyong segera menyambutnya penuh terima kasih. Setelah tadi repot mengantarkan makanan ke rumah dan menceritakan panjang tentang teman mereka yang tak banyak Taeyong kenal, mengingat dia lebih banyak terdampar di ibukota karena studi. Taeyong sepenuh hati mendengarkan cerita gadis itu sebagai balasan terima kasih.
Pada akhirnya gadis itu pamit pulang karena harus mengantarkan ibunya. Tersisa mereka, dan Jisoo masih dengan pikiran antagonisnya. Pikiran gilanya itu langsung teralihkan begitu Taeyong tersenyum lebar bagaikan orang bodoh di depannya.
“Lucu, ya,” ucapnya.
“Iya, dia lucu!” sahutnya ketus.
Taeyong menggeleng tak sependapat dengan balasannya. “Maksudnya lo, bukan Asri,” katanya sembari mendekat.
“Oh, makasih,” balas Jisoo tanpa menghiraukan kedekatan mereka.
“Manis banget kalau cemburu.”
“Sejak lama begitu.”
Membuat pemuda itu tertawa gemas oleh sikapnya. Jisoo itu sepertinya suka sekali menarik ulur perasaan seorang lelaki. Kadang sikapnya menunjukkan ketertarikan, kadang pula melihatkan ketidak tertarikan. Rotasinya selalu begitu.
“Emang bener deh, deket lo bikin kewarasan gue berada di jalan setan.”
Jisoo mengernyit.
“Pengen gue terkam. Tahu nggak?”
Yang langsung mendapatkan cubitan di pinggang. Setelah berhari-hari tanpa cubitan, kini ia merasakan lagi rasa sakit cubitan mautnya, namun kali ini tanpa rengekan. Sepertinya Taeyong sudah kebal dengan cubitan Jisoo. Anggap saja cubitan cinta.
“Serius, Jis.”
“Jauh-jauh sana di jalan malaikat,” balasnya.
“Ada kok jalan alternatif menuju jalan malaikat.”
Jisoo memutar bola mata, merasa obrolan mereka semakin random.
“Nikah,” ucapnya dengan lantang di depan matanya.
“Nikah demi ngewe doang, sinting!” Jisoo mendorong dadanya berniat kembali kamar. Akan tetapi, Taeyong menahan dan mengunci tubuh gadis itu di pelukannya.
“Bego atau gimana, sih?” ucapnya, “itu kan, bagian yang nggak bisa dihindari pasangan setelah menikah. Tanpa itu, emang mau dapat dari mana anak? Dari kolong kasur? Anak cindil kali.”
Ya, bener sih.
“Mau nikah nggak?” tanyanya tiba-tiba membuat suasana menjadi serius. Jisoo kikuk di pelukan Taeyong; memandangnya bimbang. “Atau kawin saja?” Ia meringis begitu mendapatkan delikan tajam Jisoo.
“Yaudah, nikah aja.”
“Nikah? Siapa nikah?”
Suara yang datang dari belakang itu sontak mengagetkan mereka. Jisoo segera mendorong Taeyong agar menjauh darinya. Namun siapa sangka, pemuda itu bukannya menjauh malah makin menempel tanpa mempedulikan pandangan wanita tua tersebut.
“Kita Mbok, mau nikah,” balasnya kemudian.
Si mbok—pekerja rumah—wajahnya langsung berseri-seri menyambut berita bahagia sepihak dari Taeyong. “Wah, se-desa mesti tahu ini anaknya Pak Amin mau nikah!” soraknya gembira.
“Emang harus tahu Mbok, kan, kabar gembira,” ujar Taeyong makin membuat si mbok dengan tak sabar berlari keluar dan teriak mengumumkan.
Astaga, Taeyong sudah gila. Yang mau nikah kan, Yuta bukan dia.
____________
Gas pol pokoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Boyforent | Taesoo [✔]
أدب الهواةDari mantan jadi pacar sewaan ©2019 by Hippoyeaa