Tangan kiri ku terasa kaku dan sakit ketika digerakan, kepalaku masih terasa pusing. Mataku terasa sangat berat dan susah untuk dibuka.
Samar-samar aku mendengar perbincangan seseorang, seperti suara Tiara dan Mas Musa.
"Kamu udah hungungin Mamanya Lena, Ra?"
"Belum mas, hp Lena tadi mati kayak nya lowbatt"
"Kamu ngga ada nomernya?"
"Ada sih Mas, tapi baterai hp ku tinggal tiga persen, kayaknya ngga bakalan kuat kalo buat telfon."
"Yaudah, kamu send nomer Mamanya Lena ke aku, biar aku yang telfon."
Tak ada perbincangan lagi diantara mereka, yang kudengar kali hanya langkah kaki yang mulai menjauh.
Tangan ku terasa tergengam oleh seseorang."Lena.. Kamu kenapa si?"
Tiara.... Ucapku dalam diamku.
"Kok kamu bisa tiba-tiba pingsan, kamu kalo ada apa-apa cerita dong. Jangan dipendem sendiri."
Dengan paksaan hebat aku berhasil membuka mataku.
"Raa.." ucapanku begitu lirih..
"Lena.. Lenaa, kamu sadar.. Alhamdulillah.."syukur Tiara lega.
Aku hanya bisa terdiam, tubuhku terbujur lemah, bahkan rasanya aku tak sanggup untuk mengangkat tangan ku sendiri.
"Lena udah sadar Tiara?"
Aku melihat kearah sumber suara itu,
"Udah mas.. tadi gimana Mamanya Lena?"
"Udah aku kabari. Katanya besok Mamanya Lena akan sampai disini."
"Alhamdulillah.." syukur Tiara sekali lagi.
"Tiara kita gantian ya jagain Lena, setelah ini aku pulang dulu, nanti setelah maghrib aku kesini lagi. Trus gantian kamu yang pulang."
"Iya mas, boleh. Tapi nanti yang jagain Lena pas malem siapa mas?"
"Aku juga gapapa. Nanti aku bisa telfon si Vitta buat nemenin."
"Okay Mas."
"Aku pulang ya.."
"Hati-hati dijalan Mas."
"Iyaa, jaga Lena ya.."
Ruangan kembali menjadi sepi tak ada suara lagi yang kudengar. Tiara juga hanya berdiam diri duduk disampingku sambil memegang erat tanganku, pandangannya terus saja melihat kearah ku. Aku merasa treyuh dan bahagia memiliki teman seperti Tiara. Mataku kembali terpejam dan kesadaranku menghilang.
****
Diperjalanan pulang Musa terlihat mengendarai sepedanya dengan kecepatan 100km/jam, raut wajahnya begitu serius menatap lurus kedepan tanpa memperdulikan kanan kirinya.Waktu yang semula ia habiskan untuk perjalanan dari Gedung Pandawa ke Rumah Sakit Guntur Jaya adalah 15 menit, namun kini hanya membutuhkan waktu lima menit saja ditambah waktu dari Gedung Pandawa ke kosnya dua menit. Sehingga Musa hanya membutuhkan waktu sekitar tujuh menit untuk pulang. Setelah ia sampai di kos segera ia melepas sepatunya buru-buru dan melempar tasnya ke atas kasur lalu segera pergi mandi untuk bersiap kembali ke Rumah Sakit.
Jam telah menunjukan pukul lima sore, Musa telah selesai dengan persiapan nya, ia kemudian memutuskan untuk membeli makan terlebih dahulu dan mengendarai motornya dengan lebih santai. Raut wajah nya tidak begitu serius jika dibandingkan ketika pulang dari Rumah Sakit. Ia nampak begitu tenang, mulutnya komat kamit seperti melagukan sesuatu.
****
Aku tersadar kembali, kali ini kudapati sosok yang berbeda dari sebelumnya. Sosok yang tadinya memakai kacamata dan berjilbab kini berganti menjadi sosok dengan rambut sebahu dan memakai cardigar hitam.Dalam pandangan buram ku yang samar ia tengah berdiri di depan pintu menghadap keluar ruangan dengan tangan terlihat memegang sesuatu yang menempel di telinga kanannya. Sepertinya ia sedang menelfon seseorang.
Kurang lebih satu menit ia menelfon, kemudian ia membalikan badan dan berjalan menghampiriku.
"Lena.. Kenapa kamu bisa kaya gini, magang tinggal satu minggu lagi.. Ayoo bangun, kamu harus lolos di magang ini.." terdengar suara yang begitu rendah di telinga ku. Sepertinya Mas Musa tidak mengetahui jika aku telah sadar.
Maafkan aku Ma.. Maafkan aku Mas Musa.. Maafkan aku Tiara..
Lirih ku dalam diam.
"Permisi.." Suara dorongan pintu membuatku teralih perhatian.
"Permisi Mas, Dokter sebentar lagi akan datang untuk memeriksa perkembangan kondisi dari pasien."
"Oo.. Iyaa suster," Jawab Mas Musa.
"Mas ini saudara dari pasien?"
"Bukan Sus.."
"Lalu siapa..?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Mas Musa, ia hanya terdiam. Tak lama dokter datang.
Dokter langsung mengambil stetoskop dari saku jas putih yang ia kenakan lalu menempelkannya pada ku. Setelah selesai,
"Bagaimana dok?" ucapan yang kudengar dari Mas Musa.
"Kita bicarakan diluar ya.."
*diluar ruangan.
"Lena.. Sepertinya terlalu memikirkan banyak hal dan ia juga tidak mengatur pola makannya, pemikiran yang terlalu berat dan kurangnya asupan yang membuat Lena seperti ini. Dan Lena menderita darah rendah."
"Baik Dok, Terimakasih informasinya."
"Selama dirumah sakit atau di rumah kamu bisa membantu ia menjaga pola makannya dengan mengawasi apa-apa yang dikonsumsi oleh Lena."
"Baik Dok, akan saya usahakan."
*kreekk
Pintu terbuka pun begitu dengan mataku, kulihat ia mematung menatapku beberapa detik kemudian masuk dan duduk disampingku.
"Kamu jarang makan ya?" tanya nya padaku.
Aku hanya melihat nya dan tak berniat menjawabnya.
"Kamu harus jaga pola makan, dan jangan terlalu mikir yang berat-berat. Kalo ada beban kamu bisa cerita ke temen deket mu, atau ke aku."
Mendengar ucapan Mas Musa membuat hati ku teriris, entah kenapa aku merasakan ini. Tapi perkataannya membuat sakit ku terasa semakin parah.
"Lenaa."
Panggilnya sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Philophobia
Teen FictionAku adalah gadis biasa yang secara kasat mata sehat secara fisik, pun begitu sehat secara mental dimata mereka orang-orang awam yang mengenalku hanya sebatas identitas. Lena Lesmawati, umur 19 tahun, salah satu mahasiswi di perguruan tinggi swasta...