"Sampai Ma.."
"Iya sayang, yok masuk ke kos"
"Oiya Ma.. Mama jangan kaget ya kalo kos ku berantakan."
"Kamu ngga pernah bersih-bersih ya.."
"Hehe, jarang Ma.. Yaa gimana aku kalo pulang kuliah uda capek, trus mau beres-beres jadi nanti-nanti."
"Iyaa gapapa sayang. Nanti Mama beresin ya.."
"Hehe.. Siap Ma, nanti Lena bantu."
Aku berjalan berbarengan dengan mama, tangan kiri mama merangkul badanku penuh kelembutan.
"Ya Allah... Sayang... Berantakan banget." kaget mama dengan suara tinggi, aku terkekeh geli melihat siratan raut mama yang lucu.
"Maaf ya Ma.." aku menyatukan kedua telapak tangan ku menjadi satu berlakon bak menghormati seorang Ratu.
Mama mengelus kepala ku gemas.
"Udah, sini tas kamu. Mana sapu?"
"Ini Ma.." kusodorkan sapu kecil yang ku punya.
"Ya ampun Lena.. Beli sapu dong sayang, udah kaya rambut dikucir gini masih di pake. "
Aku terkekeh lagi, kali ini lebih keras dari yang tadi.
20 menit berlalu, Aku dan Mama berhasil membuat kos ku kembali bersih dan rapi sama seperti ketika aku pertama kali sampai disini.
Sang fajar mulai tergelincir ke barat, Mama mengajak ku untuk mencari makan di sekitar komplek kos. Pun aku membawa mama ke Rumah Makan favorit ku. Kami duduk saling berhadapan di meja tengah.
"Aku biasa nya Makan disini Ma.. Menu favorit aku orek tempe sama telur."
"Habis berapa Uang biasanya?"
"15 rebu Ma sekali makan."
Malang memang terkenal akan biaya hidup yang mahal.
"Tempat nya bersih sih, mama suka."
"Iya dong Ma.. Pilihan Lena tu ngga main-main."
Mama menarik kedua ujung bibirnya dengan lembut dan menatap ku penuh kehangatan. Aku tersenyum malu, dan salah tingkah sendirian.
Makanan tiba dimeja kami kurang lebih lima menit setelah kami memesannya. 15 menit gigi ku bergulat dengan makanan enak ini, ku habiskan tanpa sisa nasi sedikit pun. Sepertinya aku sudah sembuh sepenuhnya. Total.
"Ma.. Besok aku berangkat Kuliah ya.."
"Kamu udah beneran sehat."
Aku tersenyum manis.
"Iya Ma.. Berkat perhatian Mama..""Baiklah.. Besok kalau udah selesai langsung pulang ya.. Jangan mampir-mampir."
"Siap Ma" kuangkat tangan kanan ku berpose seperti seorang siswa yang tengah hormat bendera.
Mama hanya tersenyum lucu.
"Yuk pulang." tangan kanan mama meraih tanganku dan menuntunku keluar rumah makan.
***
Fajar kembali menyapa dengan senyum hangat yang menyentuh hangat di baju muslim yang aku kenakan.
"Aku berangkat ya Ma..." ku cium tangan mama meminta restu.
"Hati-hati ya.."
Ku naiki sepeda motor hitam ini. ku lambaikan tangan kanan ku kearah mama isyarat pamitan.
Aku mengendarai sepeda ku dengan kecepatan standart.
deg
Dada kiri ku tiba-tiba ngilu, pandangan ku mulai buram, kepala ku terasa begitu sakit.
Aku berniat menepi untuk berhenti di bahu jalan. Namun nahas mobil dibelakang melaju dengan kecepatan tinggi, kecelakaan pun terjadi. Aku terjatuh dan terpental menghantam trotoan dan mobil yang tadi menabrak ku kini berganti menabrak pohon di pinggir jalan. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, kaki ku malah tertimpa pohon yang jatuh tertabrak moncong mobil tadi.
Untung saja helm yang ku kenakan masih menempel erat di kepala ku dan batang pohon yang menimpa ku tidak terlalu besar sehingga aku tak perlu meregang nyawa karna ini. Meskipun rasa sakit dari kaki ku berhasil membuatku hampir menangis.
Aku menahan sakit ku dalam ringisan dan pejaman mata ku, orang-orang mengerubungi untuk menggeser batang pohon yang menimpa kakiku. Kesadaran ku masih setengah, dalam pandangan mata yang buram, ku lihat sosok dengan rambut gondrong seperti Mas Musa menghampiriku.
Dalam anganku berharap besar sosok itu bukan dia. Ketika sosok itu mulai menyelipkan tangan kanan nya di bawah kaki ku dan tangan kiri nya ke punggung, kesadaran ku mulai hilang sepenuhnya dalam gendongannya.
Mata ku membuka perhalan, sadar aku telah terbaring di rumah sakit lagi. Kaki ku mati rasa.
Mama duduk disampingku sambil terus mengelus lembut punggung tangan kanan ku.
"Ma.." panggilku dengan suara hampir tak terdengar.
"Lena.. Sayang.. Kamu sadar nak." Mata mama hampir mengeluarkan airnya, wajahnya terlihat begitu khawatir, tangannya bergetar. aku bisa merasakan dari tanganku yang terggenggam oleh nya.
"Kaki ku... Mati rasa Ma.."
Mama menahan isak tangis nya dalam garis lengkug kebawah yang terbentuk oleh sudut bibirnya.
"Tulang mu patah sayang." mataku membulat, hati ku sakit, air mataku hampir pecah terjatuh.
"Apa Ma?.. Patah?" tanya ku tak percaya.
"Iya sayang.. Dan kaki kamu harus segera di operasi."
"Kapan Ma.. aku Operasi.. Aku takut.." rengek ku memegang tangan kanan mama dengan kedua tanganku.
"Nanti sore ya nak.." elus tangan mama di atas kepala ku.
Aku merengek hampir menangis. teringat akan sosok yang mirip mas Musa...
"Tadi yang nganter aku kesini siapa ma?" tanya ku sambil sesenggukan.
"Mama ngga tau sayang, tapi tadi yang ngabari Mama temen kamu yang namanya Musa."
"Musaaa.." nyatanya fakta yang ada tidak sesuai dengan anganku. Keyakinan ku terhadap sosok itu bukan Musa sirna. Aku hanya bisa terdiam tanpa ada kata yang mampu keluar dari mulutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Philophobia
Teen FictionAku adalah gadis biasa yang secara kasat mata sehat secara fisik, pun begitu sehat secara mental dimata mereka orang-orang awam yang mengenalku hanya sebatas identitas. Lena Lesmawati, umur 19 tahun, salah satu mahasiswi di perguruan tinggi swasta...