Suatu Hari Nanti...

32 3 0
                                    

Sore ini aku memakai baju hijau khas untuk operasi. Kudapati Mama menantiku diluar jendela dengan cemas. Wajah nya pucat, tangannya tak berhenti menengadah keatas untuk berdoa.

Aku rasa mama ku terlalu lebay untuk aku yang akan operasi kaki ini, ya walaupun kesalahan operasi bisa membuat ku kehilangan kaki. Tapi tetap saja operasi ini tak akan berjalan baik tanpa restu dan doa Ibu serta izin Allah.

Jarum suntik mulai menusuk kulitku, menembus lapisan kulit untuk mengantarkan cairan bius ke dalam tubuh ku. Aku cemas. Tirai ruang operasi mulai ditutup satu persatu oleh suster, kesadaranku mulai hilang. Operasi pun dimulai.

Mataku tak terpejam lama rasanya namun operasi kaki yang ku jalani ternyata telah usai. Aku tersadar dengan kondisi tubuh ku yang lemah, mata ku melihat kesetiap sudut ruangan. Ternyata aku telah dipindah ke ruang awal saat aku tiba disini. Aku sendirian disini tak ada orang yang menemaniku.

*kreekk..

Suara pintu masuk terbuka aku menoleh kearahnya, kudapati Mama masuk diikuti oleh seorang laki-laki yang sangat familiar di mataku.

Mas Musa...

Kaget ku di diam ku.

"Lena.." panggil Mama berlari kearah ku.

Mas Musa mengikuti langkah Mama yang mengantarkan nya padaku. Kutolehkan pandangan pada nya, ia tersenyum manis kearah ku.

"Sayang.. Tadi yang nganter kamu kesini Musa.." Aku tak kaget, dan bereaksi biasa saja.

"Trimakasih Mas.." ucapku sedikit tenaga, ia hanya mengangguk dan menunjukkan senyum manis nya lagi padaku.

"Nak Musa.. Tante minta tolong jaga Lena sebentar ya.. Tante mau ngurus administrasi dulu."

Mas Musa mengganguk setuju. "Iyaa Tante.."

Setelah Mama pergi Mas Musa duduk disamping ku. Untuk kesekian kalinya ia menjagaku di Rumah sakit dan untuk ketiga kalinya ia duduk disampingku, persis seperti dua hari yang lalu.

"Lena..." panggilnya.

"Hmm.." jawabku tak niat.

"Gimana kaki kamu, masih terasa sakit?" pertanyaan macam apa ini? Retoris? Sudah pasti ya masih, dan entah kenapa rasa benci mulai tumbuh dalam hati untuk Mas Musa.

"Iya.." aku mengangguk.

Mas Musa selalu menunduk ketika mengajak ku bicara, tak pernah kutemui matanya menemui mataku lebih dari satu menit.

"Boleh besok pagi aku njenguk kamu lagi kesini?"

"Ya boleh." entah kenapa aku merasa kesal.

Adzan Maghrib berkumandang merdu.

"Aku sholat dulu ya Len.."Mas Musa berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan ku dengan berlari. Mama kembali dengan membawa sebungkus roti bakar.

"Musa mana Lena?" mama menaruh roti bakar ke atas meja putih di sampingku.

"Sholat Ma.."

"Yaudah kamu juga sholat ya.." mama membantu ku memutar posisi ku menghadap ke tembok agar aku bisa bertayamun.

Ketika aku selesai dengan ibadah ku Mas Musa kembali datang, namun kali ini nampak ia datang hanya untuk berpamitan pada Mama.

"Nak Musa, ni ada roti bakar buat kamu." mama menyodor kan sebungkus roti bakar tadi pada Mas Musa.

"Makasih, tante.." tangan Mas Musa menerima uluran roti yang diberikan pada Mama.

"Saya pamit tante.."

"Iya.. Hati-hati ya.."

Mas Musa pergi dengan langkah kecil dan pelan, ia menutup pintu masuk ruangan ini dengan hati-hati.

Aku bergurau dengan Mama di malam yang cukup dingin ini. Tawa Mama membuat angin malam yang masuk dari ventilasi udara tak begitu terasa di kulit ku. Aku merasa nyaman dengan kedatangan Mama sebagai penopang diriku. Mama benar-benar menyayangiku.

Minggu-minggu telah berlalu dan kini masuk minggu ke empat masa penyembuhan untuk kaki ku. Hampir setiap hari Mas Musa selalu menjenguk ku dan hampir setiap minggu ia membawakan ku sekeranjang buah segar, anehnya Mama selalu menyambut kedatangan nya dengan kegembiraan.

Jika boleh jujur aku merasa tak nyaman dan tak enak mendapat perlakuan seperti ini dari Mas Musa, tak tahan akan gejolak hati yang menolak perlakuan spesialnya. Akhirnya sesuatu sore di hari terakhir bulan ini. Aku memberikan diri untuk mengutarakan kegusaran hati ku padanya.

Tepat jam lima sore seperti hari-hari lalu Mas Musa datang menjenguk ku dengan modal sekeranjang buah segar ditanganya. Saat ia duduk di sofa tamu, dengan lidah kelu yang kupaksa bicara aku berhasil memanggil namanya dengan canggung.

"Mas Musaa.." Ia menghampiri ku lalu duduk disampingku lagi.

"Iya Lena.."

"Maafkan aku sebelumnya, tapi jujur aku tak nyaman diperlakukan seperti ini oleh mu."

"Maksudnya?" mata Mas Musa melihat ke arah ku, yang bisa kuartikan dia terkejut akan ucapan ku.

"Aku tidak bisa menerima perlakuan baik dan perhatian dari Mas Musa selama kurang lebih satu bulan ini. Mas Musa yang selalu menjenguk ku hampir setiap hari, membawakan ku buah dan selalu bertanya mengenai keadaanku." nada bicara ku mulai bergetar, hati ku terasa seperti terluka oleh sayatan pisau tajam yang entah datang dari mana, dadaku terasa seperti tertusuk anak panah berkali-kali.

Tak sadar air mata ku keluar dari persembunyiannya.

"Hati ku selalu bergejolak menolak perlakuan baik darimu, dan aku mohon mulai sekarang Mas Musa berhenti melakukan ini semua."

"Tapi Lena.. Aku hanya ingin kamu cepet sembuh dan aku pengen kamu bisa lolos tahap selanjutnya untuk magang."

"Cukup. Hentikan! Masa magang telah usai beberapa minggu lalu dan tak ada alasan lagi untuk Mas Musa berlaku baik padaku." nada bicara ku mulai tinggi.

"Tapi Lena.. Khusus buat ka.."

"Cukup." aku berteriak memotong ucapan Mas Musa.

"Aku mohon Mas Musa pergi sekarang ya.." ucap ku penuh mohon dengan air mata yang terus berjatuhan tanpa henti.

Mimik Mas Musa berubah, dalam hatiku aku berteriak "Maafkan Aku Mas.. tapi aku tidak mampu."

"Baiklah Lena.. Tapi suatu hari nanti aku akan menemui mu bak lalat yang membawa penawar. Mungkin kali ini bagimu aku adalah racun. Tapi esok kupastikan akan ku bawakan setuju obat untuk mu." Mas Musa beranjak pergi dengan ekspresi yang tetap tenang dan damai.

"Saya Pamit Tante." Ia mencium tangan sosok yang berdiri di depan pintu masuk yang tak lain adalah Mama, mama mengiyakan kepergian Mas Musa.

Entah sejak kapan Mama disana, tapi aku yakin Mama mengetahui apa yang menjadi pembicaraan ku dengan Mas Musa tadi.

Mama meghampiri ku.

"Kamu ngga seharusnya berlaku seperti itu pada Musa sayang. Dia udah baik pada mu."

"Tapi, aku ngga bisa Ma.. Aku ngga bisa menerima perlakuan seperti itu. Aku ngga mau jatuh sendirian Ma.. Aku ngga mau.. Aku ngga mau jatuh cinta sendirian dan aku ngga mau jatuh cinta dihati orang yang salah."




PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang