02. Comeback

556 59 12
                                    


Itali tempat yang bagus untuk berdiam diri di sana, tapi—sebagus apapun itu, jika tidak ada dirimu, itu sia-sia. Begitu pikir pemuda dengan tubuh seksinya.

Ada beberapa alasan ia menahan diri untuk tidak terus berlari lantaran sepakat untuk setia menunggu kasih nya pulang.

Tapi, itu pun tak kunjung ia dapatkan kurang lebih sepuluh tahun ini. Barang kabar kecil bahwa ia baik-baik sajapun tidak ada.

Semuanya tak kunjung menjadi kenyataan dengan ia yang menunggu, menunggu, menunggu, dan berharap.

Ponselnya berdering begitu ia telah menghabiskan satu gelas wine.

"Halo, Wonho?"

"Ya, halo, ada apa Haegi?"

"Aku sudah sampai." Suaranya terdengar sedikit parau. "Kau.. kau kapan datang?"

"Baguslah kalau begitu. Apa kau takut, Hae?" Tanya Wonho hati-hati. Ia tahu, orang sekuat Haegi saja masih takut untuk menghadapi kenyataan bahwa semestanya belum ia temukan.

"T-tidak. Aku tidak takut, sungguh." Haegi berdehem kecil, "Hanya saja, aku tiba-tiba gugup. Aku—"

"Semua akan baik-baik saja, Hae. Aku berjanji akan menemukan Sana sekarang. Aku sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mencarinya." Wonho menetralkan nafasnya dengan pelan, "Aku akan sampai di Korea besok."

"Ya, semua akan baik-baik saja. Aku tahu itu." Haegi berdehem, lagi. "Baiklah, kabari aku jika sudah sampai di Korea."

Wonho berdehem, "Ya, akan kukabari. Sampai jumpa," lalu sambungan terputus.

Wonho sedang dalam pesawat pribadinya, matanya melirik kembali kearah jendela yang memperlihatkan langit yang hitam gelap gulita.

Perjalanan nya kini menuju ke Korea. Ya, ia harus pulang, karena sang Ibu—Ny. Lee menyuruhnya untuk pulang sesegera mungkin.

Wonho tidak menolak atau membantah sedikitpun, ia terlalu menyayangi Ibunya itu, walau ia hanya anak angkat keluarga Lee, tapi sungguh, ia tidak dibeda-bedakan oleh anak kandung nya.

"Wonho, pulang nak. Kau sayang Ibu kan, nak?"

Wonho berdehem tanpa mau menjawab, ia sedang bertengkar dengan pikirannya sendiri.

"Sayang, kau dengar Ibu?"

"Ya, aku dengar, Bu." Wonho menjawab dengan parau.

"Pulang nak, kita selesaikan semuanya bersama. Oke, Honey?"

"Bu—tapi..."

"Tolong, Sayang. Ibu ini semakin tua, Ayahmu juga. Apa kalian tidak kasihan pada kami?" Nadanya terdengar merajuk, "Bagaimana jika Ibu mati—"

"Baik, Bu, baik. Aku akan pulang, besok aku akan terbang ke Korea. Jangan berkata seperti itu, Bu. Itu menyakiti hati ku."

Nada sumringah disana begitu jelas terdengar ke telinga Wonho, "Baiklah. Ibu tunggu ya, Sayang. Kau hati-hati."

"Iya, Bu. Selamat malam, Bu. Aku tutup, ya."

"Iya, Sayang. Selamat malam. Ibu mencintaimu, Nak."

Wonho berdehem dengan senyum simpul, "Hm, aku juga, Bu. Aku mencintaimu juga, Ny. Lee."

Pikirannya buyar. Ia mendengus begitu ia kembali teringat sesuatu.

Park Sana.

Astaga, mau gila saja rasanya menahan rindu selama ini untuk adik tercintanya. Ia rindu, rindu sekali dengan semestanya.

The New BeginningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang