14¶ Tumbal pertama?

451 118 34
                                    

Hari dengan penuh duka di SMK Negeri YAFIZ. Tidak ada yang menginginkan temannya itu pergi di tengah kebahagiaan akhir sekolah. Padahal kurang lebih 3 bulan lagi mereka akan lepas seragam putih abu-abunya. Namun sayangnya Imam tidak bisa merasakan percikan kebahagiaan pada saat kelulusan nanti.

Setelah kepergian Imam kemarin, sekolah ini terasa begitu mengerikan, dingin dan sunyi. Semua siswa tidak ada yang berani mendatangi tempat kejadian perkara, padahal tempat itu adalah salah satu jalan keluar masuk paling aman bagi seluruh siswa yang terlambat maupun yang hendak bolos pelajaran. Namun setelah kejadian kemarin, tidak ada satupun siswa yang berani melewati tempat itu lagi.

Pagi ini, tepatnya jam pertama masuk, seluruh siswa melakukan pengajian atas meninggalnya almarhum Imam Aditya di kelas masing-masing. Semuanya merasa begitu kehilangan, apalagi kelas XII Rekayasa Perangkat Lunak seakan-akan kejadian ini seperti mimpi.

Sepulang sekolah, Shadam meminta semua teman dekatnya untuk berkumpul di tepi waduk Gunung Bubut yang memang tidak jauh jaraknya dari sekolah.

Semuanya sudah berkumpul kecuali Rey, ia masih belum datang juga, padahal perjanjiannya kumpul setelah bubar sekolah. Entah memang karena perjanjiannya yang salah atau orangnya yang tidak bisa tepat waktu. Mereka terduduk lemas di bawah pohon besar, belum ada yang memulai percakapan, mereka menunggu Rey datang dulu.

Remaja dengan perawakan ideal itu terlihat berlari cepat kearah titik kumpul teman-temannya. Semua remaja berseragam putih abu-abu itu menarik napas panjang saat orang yang ditunggu-tunggu itu tiba.

"Lu kemana dulu si Rey!" seru Erik geram.

"Tau ih, kesel tau ga!" tambah Reska.

Yang lain hanya menatap geram kearah Rey.

"Sorry, tadi gua ga bawa motor, makannya gua jalan kaki," kata Rey dengan nada bergetar karena pacu jantungnya masih berdegup kencang.

"Kan tadi udah gua tawarin lu boncengan, kenapa nolak?" semprot Erik yang benar-benar kesal.

"Iya kan gua tadi-" katanya terputus.

"Udahlah, mending mulai aja deh, ini tuh mau ngomongin apa? Udah jam empat ini!" lerai Laras yang risih akan perdebatan.

"Tau ih, udah, ribet banget!" imbuh Doni.

"Rey duduk, kita mulai aja." kata Shadam angkat bicara.

Mereka duduk melingkar di bawah pohon besar dengan pemandangan waduk yang cukup indah untuk di pandang. Rey duduk di sebelah kanan Sopyan. Matanya mendapati wajah yang cukup asing untuk perkumpulan gengnya itu, karena untuk pertama kalinya perkumpulan ini di datangi oleh Riri, gadis yang viral di sebut-sebut sebagai penyebab kematian Imam.

"Loh ko ada riri?" gumam Rey.

Fairuz yang duduk bersebelahan dengan Rey menoleh karena mendengar suara membisik dari Rey. "Iya, dia ikut, gatau tuh di suruh si Shadam." sahut Fairuz dengan suara yang sengaja dikecilkan.

Rey melirik ke asal suara, lalu mengangguk pelan.

"Gua kira, kematian imam itu engga wajar." tiba-tiba Shadam berbicara memecahkan keheningan.

Seluruh mata tertuju padanya, apa maksudnya dia berbicara seperti itu?

"Maksud kamu ini di sengaja?" komentar Laras di barengi anggukan Doni yang sepertinya mewakili pertanyaannya juga.

"Hemm entah, tapi saat dimandikan, di leher kirinya terdapat luka cakaran, seperti dicakar harimau." jawab Shadam sambil berpikir.

Rey terdiam, dia terlihat gelisah.

"Oke, gua paham maksud lu dam, lu mau tuduh gue kan sebagai pembunuhnya?" ungkap Riri yang sudah menahan rasa geramnya sedari tadi, ia begitu sakit menahan perkataan orang-orang terhadapnya belakangan ini.

Muhal [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang