Veranda

3.2K 241 15
                                    

Aku hanya menatap tumpukan map yang di sodorkan oleh Gracia. Sama sekali tidak berminat menyentuh atau bahkan memeriksa isinya. Berkali-kali kak Kinal dan kak Veranda memeriksa berkas di tumpukan map lalu mereka diskusi sendiri. Gracia lalu pamit keluar ruangan, katanya menjemput wanita yang juga mama-ku.

"Gue nggak percaya sama cerita Gracia." Aku membuka percakapan setelah kepergian Gracia. Kak Kinal dan kak Veranda menghentikan kegiatan mereka dan fokus kepadaku.

"Kenapa nggak percaya, Shan?" Tanya Beby, pertanyaan yang pasti juga mewakili kak Kinal dan kak Veranda.

"Bertahun-tahun gue hidup sendiri, masa kekayaan kakek gue nggak bisa buat nyewa orang nyari gue yang bahkan cuma beda beberapa ratus kilometer dari mereka di bandung." Aku tersenyum sinis, meremehkan alasan Gracia yang nggak masuk di akal.

"Kan udah di jelasin alasannya sama Gracia, Shan. Buat apa Gracia mengada-ada cerita." Kak Kinal menjawab perkataanku, sebal rasanya sedari tadi ketiga sahabatku ini lebih membela Gracia dan tante Sintya. "Lo cek deh ini berkas kelahiran lo, masa manipulasi dari tahun kelahiran lo, semuanya lo periksa deh."

"Udah jelas, Gracia kekurangan dana buat berobat mamanya. Dan gue, pewaris utama Birawa, apalagi yang mereka incar selain harta gue?" Aku menyingkap tanganku ke dada. Memikirkan sesuatu yang sempat terlintas di pikiranku tadi.

"Shan, benci boleh, tapi lo harus terima kenyataan kalo faktanya mama kandung lo masih hidup, dan harusnya lo bahagia, bukannya malah curiga." Ucapan kak Kinal membuatku sedikit tersinggung.

"Oke. Panggil dokter terbaik di rumah sakit milik mama kamu, Beby. Suruh mereka kesini sekarang. Ambil darah gue, tante Sintya dan juga Gracia. Gue mau orang kompeten di bidangnya dan gue akan mengawasi setiap detail dari pemeriksaan itu." Kataku. Beby yang masih sedikit kaget dengan perkataanku sampai tidak bisa berkata-kata. Ia hanya mengambil hpnya lalu menyerahkan padaku.

Aku lalu mengetikkan pesan kepada mama Beby yang dengan segera langsung membalas pesanku dengan telepon. Setelah berbincang mengenai masalah yang sedang aku hadapi, mama Beby bersedia membantuku. Beliau segera mengirimkan beberapa petugas kesehatan untuk mengambil sampel darah dan beberapa yang di butuhkan untuk tes DNA.

Aku tau ini sedikit berlebihan, tapi siapa yang dapat memahami perasaanku? Bahkan ketiga sahabatku secara terang-terangan membela Gracia. Mereka tidak tau bagaimana shock-nya aku saat mendengar kalo aku masih punya mama.

Pintu di buka, seorang wanita setengah baya masuk di dorong oleh Gracia. Wanita itu menunduk, membuatku tidak bisa mengamati wajahnya. Tiba-tiba sesuatu yang hangat mengaliri hatiku, aku ingin menangis. Ntah karena apa, merasakan sakit yang di rasakan oleh wanita itu. Jangan, aku mohon jangan tegakkan kepalanya. Aku rasa tangisku akan meledak kalo aku melihat wajahnya.

"Mama, ini ci Shania." Gracia membantu mamanya untuk memasang bantal penyangga kepala. "Maaf ci, syaraf mama lumpuh, jadi nggak bisa buat melihat dengan tegak, harus di topang dengan bantal, dan nggak boleh terlalu lama."

Benar saja, tangisku pecah, meskipun aku menangis tanpa suara, namun air mata mengalir dengan derasnya. Aku melihat dengan jelas kalo wajahku ada di wajah wanita di depanku.

"Nia... anak... mama." Katanya, berusaha mengangkat tangannya untuk menggapai pipiku. Aku reflek jongkok bersimpuh di hadapannya. Membiarkan wanita ini mengusap air mataku, memberiku ketenangan yang luar biasa nyaman.

"Dengar, Shania. Jangan pernah percaya dengan siapapun selain keluarga yang sudah membesarkan kamu sedari kecil. Liat apa yang terjadi akibat papamu tidak mendengarkan perkataan oma dan opa? Dia lebih memilih untuk meninggalkan kamu demi wanita lain dan membuat mamamu meninggal."

Somebody To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang