Untuk

2.6K 232 102
                                    

Aku terbangun saat merasakan tangan seseorang membelai pipiku. Mataku yang masih berat ku paksakan untuk di buka. Hal yang pertama aku lihat adalah tembok ruangan berwarna biru muda.

"Selamat pagi, Nyonya Shania." Sapa sebuah suara laki-laki yang belakangan ini rutin menyapa indra pendengaranku. Aku membalikan badan, dan benar saja, sosok laki-laki brengsek ini ada di depan mataku.

"Lo! Keluar dari sini atau gue..." Aku hendak memaki Sakti sampai aku tersadar kejadian semalam, dimana mulutku di bekap seseorang hingga tidak sadarkan diri dan berakhir disini.

Sakti terkekeh, membuatku ingin menyumpal mulutnya dengan kaos kaki yang sedang ku pakai.

"Gue keluar? Ini rumah gue, lo ada di bawah kendali gue." Katanya dengan tawanya yang memuakkan. "Bingung? Gracia nyerahin lo ke gue semalam. Hahaha. Adik lo emang bodoh. Gampang di peralat, cuma dengan iming-iming harta, dia mau bantu gue dan kakak gue buat bawa lo kesini. Liat, apa Kinal masih berani nentang Indira Corp. Hahaha."

"Lepasin gue, Sak. Gue mohon. Gue bakal kasih apapun ke lo, asal lo lepasin gue."

"Tenang, sayang. Lo disini dulu aja, gue nggak butuh harta lo. Gue cuma mau Kinal merasakan apa yang udah kakaknya lakuin ke kakak pertama gue. Lo itu kesayangan Kinal, jadi gue make lo buat alat balas dendam gue. Kinal pasti nyalahin Lidyo gara-gara kejadian ini. Nggak sabar liat drama keluarga mereka."

"Lo bodoh, kesayangannya Kinal itu Veranda! Bukan gue."

"Stop! Gue nggak mau denger apapun lagi dari mulut lo. Ya kalaupun lo nggak berpengaruh banyak ke Kinal, itung-itung gue bantu calon kakak ipar gue Gracia buat dapetin harta warisan yang jatuh ke tangan lo. Lumayan kan, gue bisa makin kaya."

"Gracia nggak sejahat itu." Kataku berusaha mengalihkan pikiran picikku tentang Gracia.

"Hahaha. Lo bego emang, Shan. Gue mau kerja dulu. Nanti malam kita bersenang-senang ya." Sakti membelai pipiku lagi, membuatku merasa semakin jijik.

"Cuih." Aku meludah ke mukanya.

"Dasar jalang!" Teriakan Sakti menggelegar, ia mengayunkan tangannya hendak menamparku. Untung saja panggilan dari anak buahnya menghentikan kelakuan Sakti. "Ikat tangannya. Jangan biarin kasih makan sampe saya pulang kerja nanti!" Perintah Sakti.

Sakti meninggalkan ruangan ini. Pengawal berbadan kekar yang di tugaskan untuk menjagaku perlahan mendekat. Aku merinding melihat banyaknya tatto di tangannya. Mukanya yang penuh dengan bekas luka semakin membuatku takut.

"Maaf ya, non. Saya harus iket tangan non. Tapi non Shania tenang aja, saya ngiketnya nggak keceng. Arah jam 6 tepat di depan non, ada kamera perekam, pas saya ngiket non Shania, pura-pura akting kesakitan ya, non." Kata pengawal ini sambil berbisik pelan di sampingku. Dengan tanggap, aku mengikuti apa yang ia suruh, ia mengikat tanganku lalu menutupnya dengan selimut. Ikatannya sama sekali tidak kuat, bahkan bisa terlepas andai aku mau melepasnya.

Aku tersenyum kaku saat perutku berbunyi. Sepertinya pengawal ini juga peka karena ia memperhatikanku.

"Non, lapar?" Tanyanya. Aku mengangguk malu. Dia melihat ke sekeliling seperti sedang mengawasi sesuatu.

"Non, saya keluar dulu ya. Saya bawain makanan nanti. Tapi saya telepon den Sakti dulu, nanti alesan non Shania mau ke kamar mandi. Nanti, maaf, makanannya saya taruh kamar mandi ya, non."

Aku mengangguk, otakku sedang tidak bisa berpikir jernih. Lebih baik ku iyakan saja perkataannya. Nanti habis makan baru ku pikirkan lagi langkah selanjutnya untuk kabur.

***

"Serius Shania nginep di rumah mama Sintya?" Tanya Kinal. Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar mengenai Shania yang mau menginap di rumah mamanya itu.

Somebody To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang