Gadis kesayanganku dan juga banyak orang dengan mata sipit seperti bulan sabit yang mampu menghipnotis siapapun yang melihatnya, sedang duduk sendirian di pojok balkon yang sudah selesai di sulap menjadi dapur outdoor. Aku mengamatinya dari jauh, Shania sedang menggerutu sambil memainkan hpnya. "Pasti kalah main game." Tebakku.
"Beby!" Panggil Shania, setengah membentak di pendengaranku. Aku langsung menghampiri Shania dengan setengah berlari. "Lama banget." Bibir Shania mengerucut, gemas sekali.
"Sorry, tadi ketemu Shani dulu." Jawabku. aku memilih duduk di sebrang bangku yang diduduki Shania, masih agak kaget karena ia mau menyapaku.
"Kok jauhan, jijik juga sama gue?" Aku jadi bingung melihat muka Shania berubah sendu.
"Ehh, nggak gitu." Aku panik, lalu pindah duduk di sebelah Shania, menariknya ke pelukanku.
"Udahlah, gue mau ke kamar. Tadinya gue mau ngomong baik-baik sama lo, tapi ternyata lo nyebelin." Shania menepis kasar pelukanku, ia berjalan menuju kamar dan menguncinya. Ku sandarkan tubuhnya di sofa, Shania sedang berada di fase mood swing parah.
Semilir angin sore membuatku sedikit rileks. Aku harus memikirkan cara agar Shania percaya pada ketulusanku. Secepat kilat aku beranjak ke bawah, menelepon kak Kinal adalah pilihan paling tepat.
"Hallo, kak." Sapaku.
"Beb, Shania udah gue nasehati, lo bicara baik-baik sama dia gih."
"Gue nggak tau dia kenapa, mau ngomong sama gue aja enggak." Aku meringis membayangkan muka Shania tadi.
"Lo cek cctv kafe lo deh."
"Kenapa emang?"
"Cek aja dulu kemaren selama Shania disana ada kejadian apa. Nanti kalo lo bingung harus ngapain baru telepon gue. Tapi gue harap lo berjuang sendiri buat naklukin hati Shania kali ini."
"Bantuin."
"Usaha sendiri. Gue bantu dikit. Sekarang lo buruan lakuin yang gue suruh tadi."
"Oke, kak. Thanks ya."
Aku mengakhiri panggilan dengan kak Kinal. Menelepon Chika untuk memeriksa cctv dan menyuruhnya mengirim kepadaku dalam waktu 30 menit. Sambil menunggu, aku browsing masakan apa yang baik untuk ibu hamil. Aku berniat membuatkan Shania makan malam.
Belum sampe 15 menit, Chika sudah mengirimiku beberapa video. Ada satu video yang langsung menarik perhatianku karena di beri caption oleh Chika.
"Kak Beb, langsung liat yang ini aja. Kayaknya yang di cari kak Beb ada disini."
"Sakti... Anin...?" Aku berusaha fokus dengan kalimat yang mereka berdua ucapkan.
Tidak ada lagi kata yang bisa aku gambarkan selain kemarahan mendengar ucapan Anin dan Sakti serta pelecehan yang lagi-lagi Sakti lakukan pada Shaniaku. "Gue bakal hancurin lo, sehancur-hancurnya, Sak."
"Non Beby, non Shania di atas lagi bikin mie, saya mau bikinin tapi nggak boleh. Itu, bikinnya sambil nangis." Mbok Nah berjalan sedikit tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Hah? Oke Beby naik, mbok." Jawabku kepada perempuan tua di depanku yang sudah bertahun-tahun mengurusku itu.
Benar saja kata si mbok, gadis kesayanganku sedang berdiri di depan kompor. Pelan aku mendekatinya, jangan sampe salah kata lagi.
"Lo mau mati masak mie instan 5 bungkus?" Aku menggelengkan kepala melihat 5 bungkus mie goreng ada di meja. Shania balik badan, menatapku tajam, ia mengacungkan garpu ke arahku. Oke, sepertinya aku salah bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Somebody To Love
FanfictionWARNING! GXG AREA! Kadang sekuat apapun aku berusaha melupakanmu, namun lembaran kenangan selalu mengingatkanku tentangmu.