Sepuluh

4.7K 392 14
                                    

Tepat pukul lima sore, Pihak rumah sakit sudah memproses pemindahan Mahesa papa Eca ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lebih lengkap.

Sebelum itu, Aya sempat berdebat dengan sang kakak tentang kondisi papa mereka.

Setelah Eca menjelaskan, barulah Aya bisa menerima. Perasaannya jelas hancur dan sedih, padahal dia berharap sang papa bisa segera pulang dan menjalani aktivitas normal seperti sedia kala.

"Ya, kakak keluar dulu mau urus administrasi. Kamu tunggu papa di sini ya!" Aya yang masih setia menunggu sang papa dengan duduk di samping ranjangnya itu hanya mengangguk sekilas. Tangannya tidak lepas dari tangan Mahesa.

Eca bukan ke loket tempat administrasi seharusnya diurus. Melainkan pergi ke lorong rumah sakit untuk menghubungi seseorang.

"Hallo, kaya yang tadi siang gue bilang itu. Butuhnya sekarang sih, tapi diambil besok gak pa-pa kok."

"........................."

"Please, kalo bisa diusahain ya. Gue butuh banget, bulan depan pas udah ada pasti gue kasih."

"....................."

"Makasih banget ya! Pasti, sekali lagi makasih." Eca mematikan sambungan telfonya.

Membalikkan tubuhnya untuk kembali ke ruangan Mahesa, tapi mendadak terlonjak saat mendapati Saka sudah berdiri di belakangnya.

"Sa-Saka?" Raut wajah Eca tidak terbaca, sangat berbanding terbalik dengan Saka yang masih tampak tenang.

Dia menyandarkan tubuhnya di tembok, dengan memfokuskan pandangannya pada wajah putih Eca.

"Ko-k, kok lo bisa ada disini? Bukannya lo tadi udah pulang?" Saka seperti enggan menjawab. Dia justru berjalan semakin dekat dengan posisi Eca.

Tangan kanannya menyodorkan sebuah kartu ATM yang entah sejak kapan ada di genggaman Saka.

"Pake ini dulu buat ngurus pembayaran bokap lo." Ujar Saka pelan.

Eca sontak menggeleng, "Nggak perlu Ka, gue udah ada pinjaman." Saka mengernyitkan keningnya seolah bertanya 'Pinjam dimana?'.

"Gue ambil pinjaman di koperasi kantor." Lanjut Eca tanpa diminta.

Saka menghela nafas.

"Kalo lo cari pinjaman di kantor, gue yakin nggak bisa sehari dua hari cair. Pake ini dulu aja kenapa sih Ca? Biar bisa langsung nebus obatnya sekalian."

"Kenapa sih Ka lo maksa banget, toh nggak ada paksaan harus hari ini lunas kan?!" Nada suara Eca lebih tinggi. Entah kenapa, dia lebih mudah emosi.

"Lo bisa pegang kartu ini sewaktu-waktu lo butuh." Ujar Saka sambil meletakkan kartu ATMnya di genggaman Eca. Dia sudah beranjak akan berlalu saat Eca kembali menarik tangan Saka dan mengembalikan kartu tersebut di tangan kanannya.

"Gue gak bisa nerima, jangan karna lo udah deket sama Aya jadi lo melakukan hal ini. Gue masih bisa berusaha sendiri Ka." Tegas Eca.

Saka mengerutkan keningnya.

"Kenapa jadi nyaut-nyaut ke Aya sih Ca, sebelum gue deket sama Aya juga gue selalu bantuin lo. Lo lupa?" Nada suara Saka mendadak parau.

The Best Man Ever!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang