Dua Puluh

4.5K 404 21
                                    

"Tapi satu hal yang harus saya katakan sebelum hubungan ini semakin jauh. Putri saya Eca.."

"Pernah menjadi korban pemerkosaan." Lanjutnya kemudian.

Hingga semenit kemudian, ruangan itu hanya diselimuti kebisuan. Suasana semakin dingin, raut-raut wajah berbinar berubah tegang. Suara isak tangis dari Sani semakin menambah kacau keadaan.

"Saya masih ingat betul. Beberapa tahun silam, Eca pamit ke acara perpisahan sekolah. Dan saya tidak mendapati Eca pulang ke rumah sejak acara itu." Mahesa mulai menceritakan kisah dari sudut pandangnya.

"Awalnya, saya tidak mencurigai apapun. Apalagi saat Eca memberi kabar untuk ikut serta kegiatan pelatihan kerja dan harus tinggal di asrama selama beberapa minggu." Semua masih fokus mendengarkan suara parau Mahesa.

"Beberapa hari kemudian, seorang laki-laki mendatangi saya sore itu. Tampilannya berantakan, dia mengatakan sudah melakukan tindak pemerkosaan pada putri saya." Tatapan Mahesa beralih ke arah Eca. Raut wajahnya tidak terbaca.

"Bahkan saya sempat tidak percaya pada ucapannya. Saya mengira dia mabuk karna nampak seperti itu."

"Saya mengusir dia dari rumah ini, laki-laki itu justru memancing emosi saya dengan mengatakan Eca mandul. Dia melempar sebuah liontin ke arah saya. Liontin Eca, liontin yang saya berikan sejak Eca masih kecil." Penjelasan Mahesa terputus-putus karna saat ini dia tengah menangis sesenggukan.

"Hal itu membuat pikiran saya semakin kemana-mana. Eca tidak segera pulang padahal saya berharap segera melihat kondisinya, situasi semakin buruk karna tidak lama setelah itu, saya terserang stroke." Tatapan Mahesa tidak lepas dari Eca. Bahkan terlalu berat untuk mengingat kenyataan pahit itu, Eca hanya bisa tergugu sembari menunduk malu.

"Selama beberapa tahun ini saya memendam perkara itu, selain karna kelumpuhan yang menyebabkan saya tidak bisa berbicara, saya juga merasa tidak sanggup jika harus dengan lancang menanyakan hal itu. Mana mungkin saya akan tega menyakiti hati putri saya sendiri." Mahesa mengusap air matanya.

"Saya berharap Eca akan menceritakan semuanya. Tapi nyatanya saya tidak berhasil mengenali sifat putri saya sendiri. Hatinya begitu kokoh untuk menampung semua permasalahan yang dia hadapi, tanpa berniat membaginya dengan orang lain, bahkan dengan  ayahnya sendiri."

"Saya tidak ingin membuka aib putri saya. Tapi untuk hari ini, saya ingin segala hal dimulai dengan sebuah kejujuran. Saya tidak masalah jika pihak keluarga pak Barun tidak bisa menerima fakta ini."

"Apapun keadaannya, Eca tetap putri saya. Saya laki-laki pertamanya yang akan selalu menjaga dia, meski sempat lalai sampai hal keji itu terjadi."

Ada raut keraguan dari wajah Mira dan Barun.

"Saka," Panggil Barun pelan, seperti meminta untuk mempertimbangkan lamarannya kali ini.

Saka yang awalnya menunduk, segera menegapkan punggungnya dan menatap lurus pada Mahesa.

"Saya sudah tau semuanya Om." Ucapnya tanpa keraguan.

Mahesa tidak bisa menyamarkan rasa terkejutnya.

"Saya ada di malam saat kejadian itu terjadi." Jelasnya lirih.

Tatapan mata orang-orang beralih fokus pada Saka. Memintanya untuk segera menyelesaikan cerita.

Saka menoleh ke arah Eca sebentar, Saka tau Eca ketakutan. Dia sesenggukan sambil menunduk.

"Saya menyesal karna terlambat menyelamatkan Eca saat itu. Sampai-sampai perbuatan bajingan itu sudah terjadi."

"Saya membawa Eca ke apartemen, Eca memang tidak ada pelatihan kerja. Dia tinggal dengan Saya hampir sebulan lamanya."

Mahesa mengepalkan tangannya.

"Kenapa kamu tidak mengantarkan anak saya pulang! Saya menunggunya berhari-hari di rumah! Kenapa kamu justru membiarkan dia tinggal di apartemen kamu?" Tanya Mahesa dengan nada tinggi.

"Maafin Saya Om," Ucap Saka pelan.

"Acara ini tidak perlu dilanjutkan!" Eca terlonjak mendengar bentakan Mahesa.

Dengan cepat, Eca mendekat ke arah papanya. Duduk di bawah sofa yang Mahesa tempati.

"Papa, maafin Eca. Ini bukan salah Saka atau siapapun. Ini salah Eca sendiri yang tidak bisa jaga diri." Dengan suara bergetar, air mata yang semakin deras, perasaan berantakan, rasa takut mendera. Eca mencoba menjelaskan semuanya. 

Eca menggenggam erat tangan Sani dan Mahesa.

"Maaf selama ini Eca bohong sama kalian, menyembunyikan kesalahan besar di belakang kalian. Maaf.. Maafin Eca Pa,Ma."

"Saka nggak pernah salah, saat itu Eca yang minta ke dia untuk tidak diantar pulang ke rumah. Eca yang minta ke dia untuk jaga rahasia ini. Saka dengan baik merawat Eca selama tinggal disana. E-Eca nggak pa-pa acara ini batal asal papa nggak pernah benci sama Saka. Dia nggak salah apa-apa." Tangis Eca terdengar menyayat-nyayat hati.

"Saya tidak ingin acara ini batal Om, saya tetap berniat melamar Eca untuk menjadi istri saya." Ujar Saka pelan tapi penuh kesungguhan.

"Ka," Lirih Barun.

"Pa, yang akan menjalani kedepannya Saka dan Eca. Bahkan Saka menunggu bertahun-tahun untuk moment ini. Saka tidak pernah peduli dengan apapun bentuk masa lalu Eca. Saka cinta Eca Pa." Barun menatap kagum ke arah Saka. Dia memang tidak begitu dekat dengan putranya. Tapi yang dia tahu Saka bukan sosok laki-laki bijak dan dewasa. Dia bandel, nakal, keras kepala, brengsek dan seenaknya. Nyatanya Barun Salah. Putranya sudah berubah.

"Papa merestui," Ujar Barun tulus sambil menepuk bahu Saka.

"Saka," Panggil Sani pelan, Saka menoleh.

"Ketakutan tante bukan hanya perihal Eca yang sudah tidak utuh lagi," Ucapannya terjeda.

"Ta-tapi bagaimana ka-kalau Eca memang benar tidak bisa memberi kamu keturunan." Sani kembali menangis.

Eca menatap hancur ke arah mamanya, Eca tau Sani dengan sekuat tenaga menahan diri agar tidak pingsan sekarang.

"Saya berniat menikahi Eca bukan semata-mata untuk mendapat momongan. Saya juga tidak peduli keadaan Eca yang sudah tidak utuh. Saya dan Eca sudah banyak membahas hal ini sebelum kami memutuskan untuk naik ke jenjang yang lebih serius." Saka beranjak mendekati Mahesa.

Duduk bersimpuh di samping Eca yang masih duduk di hadapan Mahesa. Lalu  menggenggam erat jemarinya seolah memberi kekuatan pada perempuan yang tengah ketakutan itu.

"Saya yakin Eca tidak mandul, saya sangat percaya itu semua hanya fitnah. Saka tau suatu saat nanti pasti kita akan mendapat keturunan. Atau perlu kita coba sekarang juga??" Saka menatap jahil ke arah Eca.

"Saka!" Protes Mira, Barun, Mahesa dan Sani.

Sedangkan Saka hanya terkekeh lalu mengusap air mata Eca pelan.

Dia tidak peduli, dengan lancang mengusap pipi merah Eca bahkan di depan Mahesa.

"Nggak usah takut, ada aku di samping kamu!" Ucapnya lirih sembari mengecup pelan kening Eca. Bahkan jari Saka dengan lihai memasangkan Cincin di jari Eca tanpa mereka semua sadari.

"Nah, malam ini kita udah resmi tunangan. Bulan depan kita resmikan di KUA ya!" Jiwa nekat Saka memang tidak mau kenal tempat dan keadaan.

Semua orang mendadak geleng-geleng kepala menatap geli ke arah dua orang yang tengah dilanda perasaan cinta itu.

Ck! Ada-ada saja.

_____________

Nggak tau, aku yakin banget banyak typo di part ini. Udah ngantuk ngebut update keburu lupa sama ide yang tiba-tiba muncul wkwkw.

Semoga suka🤗🤗🤗🤗

The Best Man Ever!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang