"Berarti besok kita bisa pulang sore kan?" Ardi mengendikkan bahunya saat Eca bertanya dengan semangat.
Keduanya sama-sama berjalan keluar dari gedung kantor menuju area parkir.
"Semoga aja gitu. Lagian emang lo mau lembur terus tanpa libur?" Pancing Ardi dengan raut wajah menyebalkan.
"Gila! Ya enggak lah. Gue pengen tidur dari sore sampe pagi lagi." Seru Eca sembari terkekeh.
Keduanya berhenti tepat di samping motor Ardi.
"Pacar lo tuh, dateng!" Tiba-tiba Ardi nyeletuk yang sontak membuat Eca kebingungan.
"Pacar? Kenapa lo tiba-tiba bahas pacar? Pacar siapa yang lo maksud?" Eca heran, apalagi dia tahu di parkiran saat ini hanya tinggal dirinya dan Ardi.
"Noh!" Tunjuk Ardi ke arah samping pos satpam. Eca dengan cepat mengikuti tatapan Ardi.
Tampak Saka baru saja keluar dari mobil dan mulai berjalan mendekat ke arah Eca berdiri saat ini.
"Ck!" Eca berdecak keras.
"Gue mau balik bareng lo Ar," Ujar Eca, tangannya sudah menarik jaket Ardi.
"Yang bener aja, lagian pacar lo mau dikemanain?" Tanya Ardi.
"Ngaco! Dia bukan pacar gue." Bantah Eca.
"Gak bisa Ca, lo balik sama dia aja. Gue gak mau dicap perebut cewek orang!" Ardi dengan cepat menstarter motornya dan beranjak pulang.
Dalam hati, Eca mengumpat sekeras-kerasnya.
"Mau ngapain lo kesini?" Seru Eca saat Saka sudah berdiri di hadapannya.
Saka menatapnya datar, dengan raut wajah lelah yang tidak bisa disembunyikan. Barangkali Saka tidak tidur sejak tiga hari lalu, terlihat dari kantung matanya sebesar itu.
"Sabtu minggu lalu, gue ngajak ketemu, lo bilang nggak bisa karna lagi lembur. Minggunya lo bilang lagi sibuk padahal gue tau lo cuma tidur seharian di rumah. Gue tau lo ngejauhin gue Ca," Ucap Saka tanpa basa-basi.
Eca memalingkan wajahnya, dia tidak ingin menatap mata Saka saat ini.
"Lo bilang gak jaga jarak sama gue, tapi sikap lo berbanding terbalik sama apa yang lo katakan!" Nada suara Saka terdengar frustasi.
"Gue gak jaga jarak Ka, gue emang lagi sibuk kerja dan harusnya lo paham itu." Kilah Eca, walaupun sebenarnya dia sendiri juga bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba ingin menjauh dari Saka. Mungkin, sejak malam itu.
"Gue mau minta maaf soal ucapan gue waktu itu." Tambah Saka, Eca hanya menghela nafas.
"Udah gue maafin, gak perlu lo pikirin lagi." Jawab Eca dengan cepat.
"Gue nggak bisa berhenti mikirin itu, gue tau kata-kata kemarin udah keterlaluan." Saka terlihat benar-benar menyesal.
"Nggak usah dibahas. Gue harus segera cari ojek dan pulang ke rumah." Eca mengalihkan pembicaraan.
"Ayo pulang, gue bisa anter lo sampe rumah," Ajaknya.
"Gak usah repot-repot!" Eca hampir berlalu tapi tangan Saka menahan.
"Lo kenapa sih Ca?" Tatapan Saka penuh selidik, dia sadar ada yang tidak beres pada Eca.
"Harusnya gue yang tanya Lo kenapa?! Kenapa jadi over banget sama gue kaya gini. Kemana Saka yang cuek dan petakilan? Gue miris ngelihat lo sekarang!" Eca tertawa sinis.
"Gue nggak bisa jauh dari lo Ca." Ujar Saka pelan.
Eca membulatkan matanya, memfokuskan indra pendengarannya dan memaksa otaknya bekerja keras untuk mencerna kata-kata Saka barusan.
Tapi mendadak semua tidak berfungsi dengan baik, hanya detak jantungnya saja yang sepertinya berpacu semakin cepat.
"A-apa?" Eca tergagap mencoba memastikan.
"Gue gak bisa kalo harus berada dalam situasi kaya gini Ca, gue sangat-sangat tau lo orangnya gimana. Dan gue yakin lo emang jaga jarak sama gue."
Eca menggeleng cepat.
"Kenapa lo tanya hal ini terus, padahal lo sendiri udah tau jawabannya!" Saka terdiam.
"Gue emang jaga jarak sama Lo Ka, bukan karna gue benci tapi karna gue tau lo udah berhasil dekat sama Aya. Dan gue rasa, ada baiknya kita dekat dalam jarak yang normal." Jujur, hati Eca terasa nyeri saat mengucapkan kata-kata itu.
"Apa lo kira kedekatan kita dulu gak normal sampai lo harus jaga jarak kaya gini?"
Lagi-lagi Eca menggeleng.
"Gue tau lo orang yang cerdas, dan sel-sel otak lo cukup mampu untuk memahami kata-kata gue barusan." Eca melangkah menjauh dari Saka.
"Perlu lo tau Ca," Ucapan menggantung dari mulut Saka mampu menghentikan langkah Eca.
"Aya memang gadis yang cantik. Sangat-sangat cantik. Dia pintar, anggun, lemah-lembut, periang dan punya daya tarik tersendiri yang bisa dengan mudah membuat orang jadi suka." Ucapannya terjeda.
"Termasuk gue," Lanjut Saka kemudian. Posisi Eca masih memunggungi Saka saat ini. Hatinya semakin berantakan mendengar Saka memuja sang adik dengan kata-kata melankolis itu.
Air matanya hampir menetes. Tapi cukup bisa dia tahan agar tidak mempermalukan dirinya sendiri.
"Tapi Aya bukan Lo, Ca." Tubuh Eca meremang mendengar Ucapan Saka. Kata-katanya itu mampu mengubah posisi Eca menjadi menghadap ke arah Saka.
"Apa maksud Lo?" Suara Eca menjadi parau.
"Seiring berjalannya waktu, setelah beberapa bulan dekat sama Aya. Gue baru sadar, kalau gue cuma sebatas kagum sama dia." Eca melotot tidak percaya.
"Bukan maksud gue mau mempermainkan perasaan Aya, tapi itulah yang perlu gue akui sebelum kita semakin jauh." Saka seperti menahan sesak di dadanya, wajahnya pun pucat pasi.
"Gue sayang sama Aya, gue selalu berusaha menjaga dia seperti yang setiap hari lo lakuin. Gue melakukan semua dengan baik dan tulus bukan atas dasar biar dia mau sama gue dan jadi milik gue seutuhnya."
"Gue merasa seperti punya adik perempuan yang sangat harus dijaga. Bukan semata-mata karna jatuh cinta,"
"Dan gue sadar, selama ini yang gue harapkan itu Lo, Ca. Bukan orang lain, dan bukan Aya!"
"Brengsek!" Sambar Eca yang sudah mengepalkan tangan kanan dan kirinya bersiap menghajar Saka.
"Itu namanya lo mainin perasaan adek gue! Lo udah janji nggak akan bikin dia sedih dan sakit hati, tapi gimana jadinya kalo dia sampai tau hal ini." Eca marah, dia ingin menghabisi Saka saat ini.
Beruntung dia tidak kalap, Eca masih sanggup mengatur emosinya.
"Maafin gue Ca, gue nggak tahu lagi harus bilang gimana. Tapi ini yang harus lo tahu." Eca mendengus kasar.
"Ca," Saka menggenggam tangan Eca, tapi dengan cepat Eca langsung melepaskan.
"Jangan pernah temui gue lagi, dan jangan ganggu Aya!" Setelah mengucapkan kata-kata itu, Eca segera pergi.
Saka terpaku pada tempatnya berdiri, menatap punggung Eca yang semakin menjauh ke arah jalan raya.
Menyesal? Tidak, Saka tidak menyesal soal kejujurannya. Dia cukup lega bisa mengatakan fakta itu pada Eca.
Merasa bersalah? Jelas, Saka sangat-sangat merasa bersalah melibatkan kakak beradik larut pada permainan rasa yang Saka ciptakan.
Lebih baik Eca marah dan membencinya setelah dia jujur, daripada terus menyembunyikan kejujuran itu dan justru membuat Aya sakit hati suatu saat nanti.
_________________
Ready ebook! Yang mau download bisa langsung klik link di bio ya 😙😙😙
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Man Ever!
ChickLit[READY EBOOK😍] Pernah mempercayai seseorang, tapi kenyataan hidup justru terlalu pahit untuk dikenang. Dilecehkan pacar sendiri, ditinggal pergi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Membuat Freya Mahiswara perempuan yang akrab disapa Eca itu, m...