1 Februari 2001

7.8K 1.7K 307
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it


Umurku belum genap 4 tahun saat pertama kalinya aku mengacaukan pekerjaan Maut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Umurku belum genap 4 tahun saat pertama kalinya aku mengacaukan pekerjaan Maut.

Kakakku sekolah, mama bekerja, dan aku punya dua pilihan: dititipkan ke Paman Tam atau ikut mama menemui kliennya. Jadi, kubilang aku pingin ikut Kak Nila ke sekolah. Kakakku langsung memasang ekspresi seolah sedang dipaksa pergi ke sekolah tanpa busana. Padahal, tanpa dia memasang wajah seperti itu pun mama sudah melarangku ikut dia ke sekolah.

Jadi, aku dibawa Paman Tam jalan-jalan ke bandara.

Itulah untungnya punya rumah dekat bandara—Paman Tam tidak perlu keluar duit banyak, tinggal menunjukkan beberapa pesawat di landasan pacu seolah-olah dia adalah pilotnya, dan aku sudah menganga terkagum-kagum sambil bertepuk tangan seperti orang udik.

Landasan pacu itu bisa dilihat dari luar pagar kawat yang berbatasan dengan jalan raya, atau dari jalan aspal kecil yang mengarah ke sebuah Taman Kanak-kanak. Tak jauh dari sekolah TK, jajanan pinggir jalan bersusun—itu baru surga. Terutama karena Paman Tam bukan orang pelit. Meski pekerjaannya tidak ada yang beres, Paman Tam tidak pernah ragu mengeluarkan uang buat siapa pun. Selain boros untuk dirinya sendiri, dia juga boros demi orang lain. Dia murah hati—itu salah satu kualitas dirinya yang paling kusuka.

Yang tidak kusuka adalah kecenderungannya bertindak seperti anak seumuranku. Umur yang hampir menginjak angka 30 tidak menghentikannya dari membuat keputusan-keputusan kekanakan seperti bocah 3 tahun, seperti siang itu saat membawaku jajan es buah sambil melihat pesawat.

Penjual es buah itu seorang pria akhir 40-an, kulitnya kusam kebanyakan terkena sinar matahari dan rambutnya sudah agak memutih karena beban hidup bertubi. Berawal dari percakapan basa-basi, si penjual es buah menuturkan bahwa anaknya sudah 3 tahun hilang—ingin melihat pesawat, katanya, lalu tak pernah pulang lagi.

"Rumah saya tak jauh dari sini." Om penjual es buahnya berkata. "Waktu itu anak saya lagi sakit, tidak sekolah, ibunya juga bekerja jadi pembantu di rumah orang, jadi saya bawa sama saya. Saya sempat lihat anak saya keliaran ke sekitar sana."—Pria itu menunjuk sekolah TK—"Dia bilang mau lihat-lihat pesawat di sini. Sampai maghrib, anak saya tak balik-balik lagi. Lapor polisi juga, mereka cuma bertanya seadanya, catat-catat tidak keruan, bilangnya nanti dihubungi kalau ada perkembangan, tapi sudah tiga tahun mereka malah lepas tangan."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang