16 Januari 2014

4K 1.1K 257
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentarI'd really appreciate it

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa bersalah mencekikku seperti tangan-tangan bercakar. Kemurungan Olive di kamarnya sudah serupa kuku-kuku panjang mengorek bekas cekikan itu. Komentar-komentar Kinantan di balkon seperti garam yang tumpah dengan sengaja ke lukaku.

"Aku dengar tadi pagi," kata gadis itu dengan suara mengalun semerdu nyanyian burung di pagi hari, "mereka bertengkar, suaranya keras sekali, seperti kontes menjerit pakai sumpah serapah. Ada tangisan juga, dan baru berhenti saat ibunya berteriak mengancam mereka untuk memotong sesuatu—entah itu uang jajan atau tangan mereka? Yah, keduanya sama parahnya."

"Berhentilah!" Aku berteriak. "Aku tahu aku salah!"

"Yang menarik," lanjut Kinantan seolah tidak mendengarku. "Pertengkaran mereka sempat terbawa jauh sekali. Si kakak sampai berkata bahwa adiknya tidak seharusnya lahir, dan si adik merusak gitar kakaknya."

Aku mengerang dan melengos pergi ke lantai bawah. Rumah itu sepi. Wilis dan Olive saling mendiamkan dan mengurung diri di kamar masing-masing, ayah dan ibu mereka di resto sejak pagi setelah sarapan yang begitu tegang.

"Hening, ya? Sedih sekali." Kinantan mengekoriku. Wajahnya begitu gembira, kontras dengan ucapannya. "Sungguh disayangkan, suasana rumah ini yang biasanya ramai sekarang terasa seperti kuburan. Dan itu semua salahmu."

Aku menghindarinya mati-matian, lalu masuk ke kamar Wilis—Kinantan kurang menyukai kamar Wilis, kecuali saat dia berusaha menakut-nakuti pemuda itu.

Wilis sedang duduk di atas ranjangnya, membetulkan senar gitarnya yang sempat peretel karena diputar-putar oleh Olive yang jengkel dibentak. Wajahnya merengut dan masih merah setelah pertengkarannya dengan Olive.

Sejenak, tangannya berhenti pada senar gitar. Matanya berserobok dengan tasnya yang bertumpukan dengan tasku di pojok kamar.

Sambil bersungut-sungut, Wilis mengambil semua tas-tas itu, berderap ke kamar Olive, menerjang masuk seperti angin badai.

Olive, yang tengah mengusap Denim di atas perutnya, ikut menandak-nandak. "Seenaknya menerobos masuk—"

"Kembalikan sama Grey," kata Wilis. Dia melemparkan tasku ke kaki ranjang, lalu menaruh tasnya sendiri di depan pintu kamar Olive. "Ini barang-barang yang kuambil dari lotengnya. Kembalikan saja."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang