19 November 2004

4.3K 1.1K 427
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Seharusnya aku ingat bahwa aku masih terikat penawaran ketiga Jerau: akses tak terbatas, yang artinya aku bisa merambah ke lintasan waktu mana pun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seharusnya aku ingat bahwa aku masih terikat penawaran ketiga Jerau: akses tak terbatas, yang artinya aku bisa merambah ke lintasan waktu mana pun. Tanpa kehadiran Olive, aku tidak bisa mengendalikannya. Kini, aku terlempar lagi ke masa lalu. Aku melihat diriku yang masih berumur 7 tahun.

Aku sudah masuk SD, Mama sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaannya, Paman Tam makin sering bertandang ke rumah, dan Kak Nila baru masuk SMA.

Pada malam-malam ini, kakakku sering bermimpi buruk—mimpi tenggelam dan sulit bernapas, katanya, dan ada anak laki-laki yang sekarat bersimbah darah di bawah pohon beringin. Orang zaman dulu percaya bahwa bermimpi melihat darah tidak pernah berarti bagus, dan ada anggota keluarga kami yang meninggal karena sesak napas sampai-sampai kakakku mudah panik dengan mimpinya sendiri.

Tahun ini aku sudah mulai agak mandiri, jadi kakakku mendapat sedikit lebih banyak perhatian Mama dari biasanya. SD-ku agak jauh dari rumah—mungkin 5 atau 7 menit dengan kendaraan bermotor—dan, kalau tidak diantar Paman Tam pakai mobilnya yang penyakitan, aku berangkat pakai taksi dengan beberapa teman—ada satu taksi hijau yang memang sudah sering membawa anak-anak dari SD-ku sampai-sampai sopirnya hafal dengan kami semua. Mama awalnya menemaniku sampai halte, lalu akhirnya melepasku pergi sendiri dengan cemas. Namun, kecemasan itu akhirnya berganti penyesalan diam-diam, bukan gara-gara aku diculik atau uang jajanku dirampok, melainkan karena aku senang kelayapan.

SD-ku letaknya berseberangan dengan rumah sakit swasta yang baru dibangun. Maka, suatu hari salah satu teman sekelasku jatuh sakit dan dirawat di sana, beberapa dari kami patungan untuk membelikannya roti, lalu pergi menjenguknya pagi-pagi sebelum lonceng berbunyi dengan ditemani wali kelas. Kami, anak-anak SD polos dan udik, ternganga-nganga melihat kamar inapnya yang serupa kamar hotel, berbeda sekali dengan ruang kelas berselimut debu dan serba usang. Di kamar itu, cat dindingnya masih tampak baru, pendingin udaranya dilengkapi pewangi ruangan beraroma lembut, lantainya bersih dan harum dilengkapi karpet berbulu halus yang tampak mahal, televisinya besar dan menayangkan kartun luar negeri yang belum pernah kami lihat. Salah satu temanku sampai menceletuk, "Aku juga mau menginap di sini," sampai mengundang omelan wali kelas.

Mengesampingkan fakta bahwa penghuni kamar yang sebelumnya sudah meninggal bulan lalu dan orangnya masih ada di pojok, kamar ini memang bagus sekali. Aku dan Kak Nila pernah dibawa Mama membesuk kerabat di rumah sakit lain dan kami tidak betah, bukan karena hantunya, tetapi karena kamarnya jelek, sempit, dan bau obat. Rumah sakit yang ini bangunannya masih sangat baru, mulus, dan penunggunya tidak sebanyak itu. Kami bisa saja berguling di lantainya dan malah jadi steril alih-alih kena penyakit.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang